RSS

Nasihat Untuk Alumni Pesantren


Sebagian Besar isi tulisan ini merupakan nasihat KH. Idris Djauhari, alm yang membesarkan pondok Pesantren Al-Amien Prenduan sehingga menjadi salah satu pondok Besar di Indonesia. Beliau mengabdikan diri di pesantren semenjak lulus Pondok Gontor Ponorogo sampai menghembuskan nafas terakhirnya. Semoga bermanfaat!

  1. Senantiasa Berkembang, Berjasa Dan Mandiri

Perjalanan santri selama menjalani masa pendidikan di podok pesantren suatu saat akan berakhir. Menanggapi selesainya masa pendidikan di pesantren, timbul pertanyaan sederhana yang menyimpan sejuta makna, ungkapan apakah yang mesti diungkapkan? Menjawab pertanyaan yang terlihat gampang itu, hakekatnya menyimpan kesulitan tersendiri ketika sebentuk pertanyaan di letakkan dalam konteks tindakan.

Ungkapan yang paling tepat diucapkan pertama kali tiada lain seperti yang pernah dicontohkan Nabi Sulaiman; “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah bersyukur atau mengingkari (nikmatnya)? Dan barang siapa yang bersyukur sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, sedangkan barang siapa yang ingkar, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (Qs. 27;40).

Manusia dihadapkan pada dua alternatif; bersyukur atau kufur. Mereka dituntut memilih secara bijaksana di antara dua pilihan yang ada, disertai sebuah kesadaran guna mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tentu yang dipilih adalah mensyukuri karunia Allah karena telah menyelesaikan jenjang pendidikan di pesantren. Rasa syukur ini yang diwujudkan dalam tindakan nyata untuk memanfaatkan seoptimal mungkin bekal yang diperoleh di pesantren dan mengaplikasikan konsep berkembang, berjasa, dan mandiri dalam realitas hidup sehari-hari.

 

a. Bekal Yang diperoleh Santri di Pondok

Selama di pondok pesantren -formal atau informal-, guru, Kiai dan santri berkumpul, bermuwajahah, saling memberi dan menerima dalam kegiatan belajar dan mengajar, dan bercakap-cakap penuh kekeluargaan. Hubungan antara mereka berlangsung secara harmonis dipenuhi rasa saling pengertian seperti orang tua terhadap anaknya. Berakhirnya proses pendidikan di pesantren, tidak membuat hubungan antara mereka terputus, malah senantiasa ditingkatkan dalam bingkai silaturrahmi. Pondok tetap memiliki kepedulian pada mereka, dengan tidak bosan-bosannya untuk mengulang-ulang kembali apa yang pernah disampaikan, dan berusaha menambah atau mengembangkan apa yang telah mereka terima. Tentu dengan bentuk, proporsi, dan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Ini dilandasi kepentingan pesantren terhadap santri-santrinya yang dilandasi rasa tanggung jawab dan ikatan persaudaraan Lillahi ta’ala, khususnya pada orang tua yang tidak bosan guna mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Ketika para santri menyelesaikan pendidikannya di sebuah pesantren, mereka memperoleh predikat, sebutan dan panggilan baru yakni Alumni. Suatu predikat yang agung, menjadi dambaan setiap orang yang merasakan pendidikan pesantren, tapi dibalik itu tersembunyi tanggung jawab yang berat.

Apa yang diperoleh alumni pesantren baru berupa kunci yang akan bermanfaat multifungsi, bila digunakan sebaik-baiknya guna membuka berbagai macam lemari ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Akan sia-sia kunci yang dimiliki, jika dibiarkan tidak dipergunakan.

Ibarat sebuah bangunan, para alumni hanya menegakkan fondasi dari sebuah bangunan, maka untuk menyelesaikan bangunan secara utuh diperlukan bahan-bahan tambahan supaya berdiri tegak menjadi sebuah bangunan yang kokoh.

Ibarat tanaman, yang diperoleh para alumni masih berupa benih yang perlu dipelihara dengan baik, untuk disemaikan di tanah yang subur dan produktif, sehingga menghasilkan sesuatu yang memuaskan bagi penanamnya. Benih sebagus apa pun, bila tidak dirawat, tidak akan menghasilkan apa-apa.

Para alumni baru mendapatkan modal awal, modal yang akan berkembang perlahan-lahan menjadi modal yang besar seandainya dikelola dengan baik, penuh perhitungan, dan diatur sedemikian rupa agar bermanfaat dalam kehidupannya.

Di hadapan para alumni terdapat berjuta-juta langkah yang hendak diambil dalam mengarungi kehidupannya, apa yang diperoleh baru langkah pendahuluan yang memerlukan beribu-ribu, bahkan berjuta-juta langkah agar menghasilkan hal-hal yang memang diinginkan, dan menjadi manusia yang paling bermanfaat di antara umatnya.

Hanya itulah yang diperoleh para alumni, tidak lebih dan tidak kurang, sesuai jenjang waktu pendidikan yang singkat. Semua pihak dintutut menyadari apa yang mereka peroleh terlalu sedikit dibandingkan kebutuhan-kebutuhan yang mestinya dipersiapkan menghadapi tantangan di tengah-tengah masyarakat yang kompleks. Namun ini sudah cukup representatif mengingat tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia sudah jadi atau paripurna.

Kemauan para alumni untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, tidak kenal kata menyerah, supaya apa yang telah diperoleh menjadi ilmu yang bermanfaat dan hikmah yang bisa digunakan demi kepentingan masyarakat dan dirinya pada masa mendatang, menjadi faktor yang amat penting. Maka perlu ditekankan bahwa segalanya tergantung pada pribadi masing-masing.

Bekal yang diperoleh diharapkan mampu ditangkap akal, pikiran, perasaan, imajinasi dan hati, diolah dengan menggunakan segenap potensi yang dimilki manusia, sampai menjadi nurullah yang dapa membentuk kepribadiannya. Pencapaian atas hal ini menjadi indikasi penting tercapainya tujuan pendidikan di pesantren dalam upaya mencetak; para alumni yang beriman sempurna, berilmu luas, beramal sholeh dan muttafaqqih fiddien, benar-benar tercapai. Untuk itu diperlukan usaha yang optimal dari santri guna berkembang, berjasa dan mandiri.

b. Berkembang Merupakan Kodrat Manusia

Berkembang ditinjau dari aspek bahasa berarti; hidup bergerak, tumbuh, maju dan hidup lebih baik, bermanfaat, lebih dewasa dalam arti sebenarnya. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW; “Barang siapa yang                 (perbuatannya) lebih baik dari kemarin dia beruntung, barang siapa yang (perbuatannya) sama dengan kemarin dia rugi, barang siapa yang (perbuatannya) lebih buruk dari kemarin dia tercela.”

Semua potensi, daya, kekuatan yang dimiliki manusia dikembangkan sedemikian rupa, jangan dibiarkan mengalami stagnasi. Melalaikan potensi yang dimiliki berarti kufur atau tidak mensukuri nikmat Allah yang dikaruniakan padanya. Tidak mensyukuri nikmat Allah akan membawa konsukwensi yang serius pada kehidupannya di masa mendatang.

Nikmat atau karunia Allah yang secara spesifik ada dalam diri manusia sangat banyak sekali. Menurut kalsifikasi penulis: empat jenis hidayah; instink, panca indera, akal dan ajaran-ajaran agama, potensi manusia menjadi khalifah Allah di bumi, potensi yang bersifat individual dan sosial, pemberian langsung sebagai (mawahib ilhamiyah) yang berupa watak, sifat dasar pembawaan, atau sebagai (mawahib ikhtiariyah) yang merupakan hasil usaha dan reakyasa manusia secara sengaja, berhubungan dengan aspek; mental, akhlak (affektif domain), berhubungan dengan aspek ilmiah; akal, pikiran, dan imajinasi (cognitive domain), berhubungan dengan tindakan; fisik, jasmani, keterampilan (psychomotoric). Semuanya harus dikembangkan dari hari ke hari sampai pada taraf yang paling optimal.

Banyak cara yang ditempuh dalam rangka mengembangkan diri sesuai potensi-potensi yang dimiliki, sesuai keadaan, dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai ilustrasi dalam mengembangkan affective domain diperlukan kesadaran, pengalaman dan keberanian untuk tampil, dalam cognitive domain perlu banyak membaca, berimajinasi dan berpikir, sedang dalam pengembangan psychomotoric domain diperlukan latihan yang rutin, usaha gigih, dan kerja keras. Ketiga bentuk pengembangan ini dikembangkan secara terpadu, karena dalam menjalani kehidupan tidak akan pernah lepas darinya.

Perwujudan dari ilustrasi tadi ialah; belajar sendiri di rumah, duduk tekun di hadapan guru, bergaul dengan masyarakat dari berbagai lapisan, rajin membaca buku, mendengarkan berita atau ceramah, bersikap rendah hati ( tawadhu’ ), banyak bertanya, magang, silaturahiem, mengikuti kelompok diskusi atau seminar, menghayati sunnatullah dan mengadakan percobaan atau penelitian. Ini bisa dilaksanakan bila ada kemauan yang kuat, keinginan untuk maju, dan adanya waktu atau kesempatan yang harus diciptakan sendiri oleh alumni pesantren.

Biasanya di saat seseorang berhasrat untuk mengembangkan diri timbul hambatan dan kendala, entah berasal dari dalam diri atau berasal dari luar, secara langsung atau tidak langsung. Menghadapi kenyataan yang terhindarkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan: menghindari sikap malas dalam; berpikir, berusaha, dan bertindak, hidupkan daya pikir yang mampu menghasilkan insiatif, gagasan, kreasi dan inspirasi, mengerahkan imajinasi seoptimal mungkin, menghilangkan perasaan pesimis atau minder, menjadikan kesuksesan sebagai sesuatu yang ingin diraih, kuasi diri dalam menghadapi berbagai permasalahan, berupaya berpikir logis, sistematis dan konstruktif, tumbuhkan perasaan sempitnya waktu berputar, sehingga waktu berputar bisa dikuasai dan dimanfaatkan secara efektif, menyelesaikan pekerjaan sebelum batas waktu yang direncanakan, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi diri, belajar dari orang lain tentang kesuksesan dan kegagalan, tidak melemparkan kesalahan pada orang lain, introspkesi diri, mengisi pikiran, imajinasi dan perasaan dengan sesuatu yang postif, dalam melaksanakan pekerjaan tidak boleh mengatakan tidak mungkin sebelum mencobanya, dan tawakkal pada Allah.

Proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap berbagai hal yang telah dilakukan dalam upaya mengembangkan diri, sehingga bisa dipahami tingkat perkembangannya. Evaluasi yang dilakukan meliputi tiga hal pokok yang akan dijelaskan berikut ini.

Pertama; tidak boleh merasa puas terhadap apa yang telah dicapai, sebab perasaan puas pada pencapain suatu usaha merupakan indikasi awal bahwa dirinya tidak berkembang, perasaan tidak puas akan membimbing pada upaya yang terus menerus untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.

Kedua; seseorang yang mampu membedakan baik dan buruk, halal dan haram, salah dan benar, berarti dirinya termasuk orang awam yang berpikir, bila dia mampu membedakan di antara yang baik, halal, dan benar dengan memahami mana yang bermanfaat atau tidak berarti dia berkembang satu tingkat menjadi orang yang paling baik.. Bila di antara yang bermanfaat itu, dia memahami mana yang prinsip (dhoruri) dan sekunder (kamali) berarti meningkat satu tingkat menjadi ulul Albab. Bila dia mampu memilih di antara yang prinsip mana yang lebih penting (prioritas) berarti dia mengalami peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi yakni Ulama’. Skema dari bentuk ini adalah;

(                         )   Benar X salah                      (                         )  

(                         ) Berguna X membahayakan (                         )  

(                         ) Prinsip X Sekunder           (                         )  

(                         ) Lebih penting X Penting     (                         )      

Ketiga; instropeksi ( hisab ) diri sendiri. Sebagai ilustrasi; dalam satu hari berapa halaman buku yang dibaca, berapa halaman yang dibaca keesokan harinya, gagasan apa saja yang timbul hari ini, bagaimana dengan gagasan yang muncul keesokan harinya, apa saja yang telah dilakukan, sedang dan akan dilakukan? Intinya setiap orang yang ingin mengembangkan diri senantiasa melakukan introspeksi diri ( muhasabah ) dengan jujur dan penuh tanggung jawab. Dari itu bisa ditempuh langkah-langkah kongkrit yang positif dan konstruktif.

c. Berjasa Sebagai Investasi Dunia dan Akhirat

Makna kata berjasa di tinjau dari aspek bahasa adalah menanam budi atau berbuat amal kebajikan untuk orang lain semata-mata untuk membantu, memberikan sesuatu yang menjadi hak seseorang pada orang lain tanpa pamrih. Maka frasa biro jasa   mengandung makna berbeda dengan kata berjasa.

Dalam upaya mengembangkan diri, kemungkinan menghadapi kesulitan tidaklah lebih sulit dari pada berjasa. Upaya pengembangan diri bersifat fitri menyangkut keakuan (egoisme/ananiah) yang berhubungan dengan potensi-potensi dasar manusia dan kodrat manusia yang tidak menginginkan bersifat stagnan. Kesulitan yang paling berarti terletak pada usaha bersikap konsisten dalam mengembangkan diri. Sedang dalam berjasa dituntut mengorbankan egoisme itu sendiri demi kepentingan orang lain atau bersama. Maka tidak berlebihan bila dikatakan, untuk berjasa seseorang dituntut untuk berperang melawan egoismenya yang menjadi salah satu wataknya. Alasan inilah yang membuat berjasa lebih sulit dari upaya berkembang.

Setiap orang yang mengaku Muslim harus berjasa pada Allah               (vertikal) dalam artian berjuang di jalanNYA, menegakkan agamaNYA, dan melaksanakan perintah serta menjauhi laranganNYA. Pada saat bersamaan dituntut berjasa pada makhluk Allah ( horizontal ) seperti; berjasa pada sesama muslim, pada yang berbeda agama, tumbuhan, binatang, dan bendak sesuai konteksnya masing-masing. Bentuk jasa pada makhluk adalah dengan berbuat baik, saling tolong menolong dan amal sholeh padanya. Realisasi dari hal ini akan menjadi implementasi dari universalitas Islam (rahmatan lil’alamien).

Kewajiban utama seorang alumni adalah berjuang di jalan Allah, menegakkan kebenaran, berdakwah di tengah-tengah masyarakat dengan berpegang teguh pada falfasah hidup yang dajarkan Nabi Muhammad SAW; “Dimanapun menginjakkan kaki di atas bumi, maka kamu bertanggung jawab pada keislamannya.” ( fi ayyi ardin tatho’ anta masuulun ‘an islamihi ).

Berjasa tidak boleh mengulur-ulur waktu, mulai detik ini juga harus dilakukan. Jangan sampai menunggu kaya untuk bersedekah, menunggu menjadi pejabat untuk membantu orang lain, menunggu menjadi orang yang berhasil untuk menolong orang miskin, menunggu menjadi orang pintar untuk mengajar orang lain, dan menunggu jadi Ulama untuk berdakwah. Perbuatan baik tidak diukur dari aspek siapa yang melakukan, tidak diukur dari besar kecilnya kebaikan, paling penting sejauh mana seseorang berjasa tanpa memperhitungkan keuntungan diri. Tentu saja dalam berjasa disesuaikan kemampuan, kapasitas dan kesempatan yang dimiliki, tanpa perlu memaksakan diri. Amal sholeh tidak ditentukan kuantitas, tapi kualitas dan kadar keikhlasannya. Uang seribu rupiah yang disumbangkan orang yang memiliki penghasilan seratus ribu rupiah, berbeda nilainya dengan orang yang menyumbangkan seribu rupiah, padahal penghasilan satu juta.

Pada waktu bersamaan tidak boleh memilih-milih sasaran, situasi, dan kondisi. Prinsip utama yang dipegang; alumni tidak boleh malu menjadi Imam di desa, khotib di masjid, tidak patah semangat karena mengajar di desa terpencil atau murid yang diajarkan hanya sedikit, dan sungkan membela kepentingan rakyat kecil, fakir miskin dan yatim piatu.

Kendala utama untuk berjasa yaitu sifat kikir (bakhil). Suatu sifat manusia yang merasa eman untuk menyumbangkan sesutau pada orang lain, meski mereka benar-benar membutuhkan. Seseorang tidak akan suka berjasa, tidak senang menolong orang lain, tidak ingin meringankan kesusahan orang lain, bila sifat itu masih bercokol kuat dalam dirinya. Untuk menghilangkannya sedikit demi sedikit dengan cara, berlatih menyumbangkan apa yang dimiliki pada orang lain, dimulai dari nilai yang dianggap kecil. Sehingga menyumbang menjadi kebiasaan.

Orang yang senang berjasa senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain dari dirinya, sekali pun dirinya sendiri dalam kesusahan. Ini sudah ditunjukkan oleh orang-orang kaum Anshor menyambut saudaranya kamu muhajirin pada masa hijrahnya Nabi Muhammad SAW: “Dan orang-orang yang menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum                 (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah pada mereka. Dan mereka tidak memiliki keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan pada kaum muhajirin, dan mereka mengutamakan (kaum muhajirin) atas diri mereka. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang diberikan). Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Qs Al-Hasr;9). Tumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa seseorang akan memperoleh keberuntungan dalam hidupnya, jika membuang jauh-jauh sifat kikir dari dirinya.

Ketika seorang santri menyumbangkan sesuatu, diiringi dengan sikap yang gembira, sebaliknya dia menangis pilu bila tidak mampu membantu orang lain yang benar-benar membutuhkan pertolongannya. Sewaktu menerima pemberian atau pertolongan dari orang lain, diterima dengan penuh rasa syukur dan keprihatinan, serta bersabar kalau ternyata tidak ada yang memberikan pertolongan.

Syarat utama berjasa yakni bersikap ikhlas lillahita’ala, tanpa pamrih. Ini akan menjadi fondasi utama berjasa. Maksud dari ikhlas ialah memberi sesuatu, menolong, atau membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun, tidak ada pamrih di balik bantuan yang diberikan, apalagi mengharap yang lebih besar. Masalah keikhlasan ini, Allah banyak menyerukan pada umatNYA lewat Al-Qur’an; “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatannya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka menunaikan shalat dan zakat; yang demikian itulah agama yang lurus,” (Q.s Al-Bayyinah;5)  

Berjasa harus tegak di atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang suci, sehingga berjasa merupakan bentuk dari usaha menjalankan ajaran agama Islam. Berjasa dalam konteks beragama inilah yang benar-benar termasuk dalam kategori ikhlas. Itulah yang dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyerukan keikhlasan karena Allah dan agama. Tanpa ini semua apapun yang dilakukan atau yang didermakan, tidak memiliki arti sama sekali; “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatangi itu, dia tidak mendapatkan apa-apa …” ( Q.s An-Nur;39 ).

Menerima imbalan atas jasa yang dilakukan seseorang; berupa tenaga atau pikiran, merupakan hal yang wajar, tidak menyalahi prinsip-prinsip keikhlasan. Sebab imbalan yang diterima tidak dijadikan tujuan dari pekerjaannya. Dalam melakukan pekerjaan imbalan menjadi yang nomor kesekian, sedang fokus utama pada upaya menjalankan sebaik mungkin. Bahkan imbalan yang diterima bisa dijadikan motivasi meningkatkan kualitas kerja dan karya yang dihasilkan.

Guna mengemban misi dakwah di jalan Allah, tidak boleh mengharapkan imbalan materi dalam bentuk apa pun seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, kalau memang sudah memilki sumber rezeki yang memadai. “Dan kamu sekali-kali tidak minta upah pada mereka   (terhadap seruanmu), itu tiada lain hanya pengajaran bagi semesta alam,” (Qs. Yusuf;104). Dalam ayat lain; “Ikutilah orang-orang yang tiada meminta balasan padamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs. Yasin;21) ayat-ayat tentang ini diulang sampai sembilan kali dalam Al-Qur’an. Wajar jika berdakwah di tengah-tengah masyarakat, tidak dijadikan sebagai sumber penghasilan.

Dalam berjasa tidak boleh setengah-setengah atau tanggung. Usahakan apa yang disumbangsihkan merupakan yang terbaik, yang bisa dilakukan seseorang, kalau bisa menyumbangkan sesuatu yang paling berarti dalam dirinya, bukan barang-barang rongsokan yang tidak berguna.

Jika berjasa dalam bentuk harta, berikan yang paling berharga dan bisa digunakan sebaik-baiknya, jika berupa ilmu atau pemikiran, berikan yang yang terbaik, jangan disembunyikan sedikitpun, jika berupa tenaga, kerahkan segenap daya yang dimiliki. Karena nilai-nilai Al-birru (kebajikan atau kebaikan yang sempurna) Allah yang akan memberikan penilaian.

Berjasa yang baik apabila sesuai kebutuhan. Misalnya; orang lapar membutuhkan nasi, jangan menyodorkan pakaian, masjid membutuhkan genting, jangan memberi pasir. Sesuatu yang diberikan lebik berharga bila disesuai dengan kebutuhannnya yang mendesak waktu itu. Ini memerlukan kepandaian pemberi jasa untuk mampu membaca keadaan. Sebagai perenungan, mengapa Rasulullah bersabda bahwa memberi hutang kadangkala lebih baik dari bersedekah?

 

d. Hidup Mandiri

Peneriman prinsip berkembang dan berjasa, tidak berjalan baik bila subyek yang melakukannya tidak memiliki kesiapan lahir dan batin untuk mandiri dalam mendapatkan penghasilan, guna memenuhi kebutuhan hidup. Susah berkembang secara optimal, tanpa didukung kesiapan materi yang dihasilkan lewat kerja mandiri. Bagaimana mungkin seseorang berjasa secara optimal, jika dirinya tergantung dari orang lain.

Prinsip utama melaksanakan kemandirian adalah berusaha melakukan suatu pekerjaan yang disenangi, tidak keburu terobsesi untung yang banyak, kembangkan usaha sedikit demi sedikit, tidak boleh malu untuk menekuni usaha kecil, tidak malu menjadi nelayan, petani, peternak, buruh, pekerja dan jenis pekerjaan lainnya. Dalam pepatah orang Arab: “Pelajar tidak malu memegang cangkul sebagaimana mereka tidak malu memegang fulpen.”

Sudah menjadi rahasia umum, ada sebagian alumni pesantren merasa malu untuk membantu orang tuanya berjualan di pasar, malu berdagang di kaki lima, dan malu membantu orang tua di sawah. Padahal semua itu yang menghantarkan mereka ke pintu pesantren. Suatu ironi yang menggetirkan. Membiasakan diri bersikap malu melakukan hal-hal yang dianggap sepele ini, akan membawa akibat buruk dalam kehidupannya di masa mendatang.

Perasaan malu biasanya dibungkus dengan kata gengsi. Gengsi adalah hantu menakutkan bagi siapa saja yang memiliki hasrat kuat untuk mandiri dalam usahanya. Tidak semua orang berasal dari kelurga kaya, yang kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan mudah, banyak keluarga yang dalam kondisi ekonomi kekurangan, sehingga inisiatif dari anaknya untuk mandiri menjadi penyangga kehidupan keluarga. Maka bila gengsi dijadikan pijakan hidupnya, selamanya dia dalam kondisi kekurangan, yang berarti menyulitkan untuk berkkembang dan berjasa.

Mandiri dalam pekerjaan, membiayai kebutuhan hidupnya, dan mandiri memenuhi kebutuhan keluarga kalau sudah berumah tangga, merupakan kebutuhan pragmatis yang tidak terhindarkan, jika alumni pesantren tidak mengantisipasi hal ini, mereka akan dipaksa keadaan untuk menyerah pada nasib, tanpa upaya untuk mewujudkan impian-impiannya.

Setelah memiliki usaha yang mandiri, berbentuk apapun; bertani, berdagang, menjadi pegawai, pengajar, teknisi, karyawan, buruh, pekerja, ahli komputer, dan usaha lain yang halal, para alumni dituntut berupaya mengembangkannya. Kalau berawal dari pedagang kecil, kembangkan menjadi pengusaha, berawal dari petani luaskan lahan agar penghasilan bertambah, berawal dari penarik becak, kembangkan menjadi bos becak, berawal kernet angkot, kembangkan menjadi juragan angkot, dan seterusnya. Tentu merubah sesuatu dari yang kecil menjadi besar, membutuhkan waktu yang lama, kerja keras, optimalisasipotensi diri, kesabaran, ketelatenan, kegigihan, dan tawakkal pada Allah.

Kesimpulan mengenai hal ini ialah mengelola profesi yang dijalani secara profesional. Menurut Elvyn G Masassya “…apapun yang tengah dijalani saat ini –profesi apa pun- semestinya harus dianggap yang terbaik, oleh karena itu, ia harus pula dikelola secara profesional, secara sungguh-sungguh.”[i]

 

d. Menyatukan Ketiga Konsep dalam Kenyataan

Setelah memiliki pemahaman yang memadai tentang konsepsi berkembang, berjasa dan mandiri, sekarang apa yang mesti dilakukan setelah tamat dari pesantren? Jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini terletak dalam diri alumni pesantren yang bersangkutan. Mereka sendiri yang akan merasakan, mengalami dan menjalankan kehidupan, sehingga setiap pilihan yang dibuat mengandung konsekwensi tersendiri yang harus dipertimbangkan secara matang, bersikap bijaksana dan bertanggung jawab, agar tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Bukankah tugas manusia di dunia hakekatnya memilih dan memilih? Sebagai pegangan awal dalam menentukan suatu pilihan yang benar, penjelasan berikut bisa dijadikan bahan pemikiran dan perenungan.

Sebelum menentukan suatu pilihan, alumni pesantren perlu memperhatikan hal-hal berikut: mengenali diri sendiri; bakat yang dimiliki, potensi yang bisa dioptimalkan, tantangan dari dalam diri, dan kelemahan-kelemahan diri, menyadari kondisi keluarga dan masyarakat, mengenali zaman; tantangan-tantangan dalam zaman sekarang, perkembangan teknologi super cepat, akselarasi kehidupan, dan putaran waktu yang berlangsung cepat.

Berdasarkan pedoman di atas, mulailah menentukan pilihan, apakah yang akan dilakukan kelak? Dalam bidang pekerjaan apa yang akan ditekuni sehingga bisa menjadi mandiri? Jalur manakah yang akan ditempuh agar bisa mengembangkan dii? Diri hendak memberikan sumbangsih di bidang apa, sehingga bisa berjasa.

Tahap ini merupakan langkah awal guna mewujudkan cita-cita yang ingin diraih pada masa depan, suatu tahapan penting yang harus dipikirkan secara logis, sistematis, realistis dan kongkrit, dengan tetap menyadari bahwa semua yang dilakukan merupakan usaha (ijtihad) manusia semata yang bersifat relatif, tidak mutlak, dan bukan harga mati. Ada faktor lain yang menentukan tercapainya cita-cita yakni kehendak Allah. Maka bertawakkal padaNYA merupakan langkah yang tidak bisa ditawar-tawar. Tawakkal diwujudkan dalam ibadah spritual yang ikhlas; shalat lima waktu, shalat sunnah; tajajjud, dhuha, dan hajat, puasa wajib dan sunnah, bersedekah dan mengeluarkan zakat sesuai kemampuan, melakukan dzikir; lisan, hati dan jiwa, berdoa hanya pada Allah, dan menyempurnakan melalui ibadah haji jika mampu.

Dalam upaya menggapai cita-cita, hakekatnya semenjak menginjakkan kaki di pesantren persiapan diri dilakukan, sehingga ketika tamat segalanya telah diperhitungkan. Ini memudahkan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Bagaimana kalau gagal? Kegagalan bukan merupakan akhir siklus kehidupan, kegagalan menjadi langkah awal dari kesuksesan yang akan diraih, maka sikap putus asa harus dijauhi. Gagal dalam satu bidang, bisa menekuni bidang yang lain. Bumi Allah luas, alumni pesantren bisa menekuni bermacam-macam bidang, tidak fanatik dalam satu bidang. Kata-kata Thomas Edison tentang kegagalan bisa dijadikan inspirasi; “Kebanyakan orang gagal adalah orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka ke titik sukses saat mereka memutuskan untuk menyerah.”[ii] Hebatnya lagi, sebelum mencapai hasil mencengangkan sebagai salah seorang paling jenius di dunia di samping Enstein, Edison mengalami berbagai cobaan yang gagal sampai mencapai 9994 kali. Menghadapi ini dengan enteng dia menyatakan bahwa telah mempelajari 9994 cara yang akan mengalami kegagalan.[iii]

Apabila seorang alumni pesantren mengalami kegagalan dalam puluhan, ratusan dan ribuan langkah, belum seberapa dibandingkan Thomas Edison, maka kata kuncinya tidak boleh menyerah pada kegagalan yang berulangkali datangnya. Justru kegagalan bisa dijadikan cambuk menuju pintu kesuksesan.

Dengan adanya cita-cita yang kongkrit, memahami tantangan yang dihadapi, dan mempersiapkan mental, baru menentukan alternatif-alternatif langkah yang hendak diambil. Paling tidak seorang alumni pesantren menentukan satu di antara lima langkah berikut yang bisa ditempuh.

Pertama; berkiprah secara langsung di tengah-tengah masyarakat, menangani berbagai tugas kependidikan dan kemasyarakatan, sambil tetap berupaya mengembangkan diri dan mencari peluang hidup mandiri.

Kedua; mengabdikan diri di berbagai lembaga pendidikan; berlatih mengajar sambil belajar di hadapan murid, dengan tetap berupaya mengembangkan diri lewat jalur otodidak atau melanjutkan ke perguruan tinggi.

Ketiga; melanjutkan belajar di perguruan tinggi di dalam atau di luar negeri, diusahakan sampai tingkat paling tinggi doktoral misalnya, sambil berlatih hidup mandiri, memperluas wawasan ilmiah, dan berupaya membantu masyarakat menggunakan berbagai perangkat yang memungkinkan.

Keempat; menambah pengetahuan dan kemampuan lewat jalur kursus, training, magang, dan lain-lain, sambil berupaya berjasa di lingkungannya paling tidak, dan mencari celah hidup mandiri.

Kelima; mencari pekerjaan tetap atau berwiraswasta, dengan berusaha mengembangkan diri lewat jalur belajar otodidak, belajar di universitas sehari-hari, dan berjasa menurut kemampuan yang dimiliki.

Begitu seorang alumni pesantren menentukan pilihan dari beberapa alternatif yang ada, mulailah mengerjakan dengan penuh keyakinan, membulatkan tekad di dada, melangkah dengan tegar, menghadapi setiap tantangan, mengoptimalkan pikiran, konsentrasi pada tugas, tidak mudah menyerah, dan melaksanakan secara konsisten (Q.s 46;13) sambil bertawakkal pada Allah (Q.s 3;159). Insya Allah apa yang diinginkan dan dicita-citakan akan tercapai.

Berkembang, berjasa dan mandiri menjadi semboyan dan falsafah hidup alumni pesantren di manapun mereka berada dan dalam waktu bagaimanapun. Ketiganya dilaksanakan secara terpadu, seiring dan seirama. Dalam upaya mengembangkan diri menghadapi problembatika umat yang bermacam-macam, tidak lupa untuk berjasa dan mandiri dalam menghadapi kebutuhan pragmatis yang tidak terhindarkan. Sebab jika tidak berkembang hakekatnya mati, konsekwensinya menjadi pelanggaran serius pada kodrat manusia. Jika tidak berjasa, berarti melalaikan tugas manusia di sisi Allah, dimana kehidupan dunia bersifat fana, dan merupakan persinggahan sementara untuk mencari bekal demi kehidupan abadi di akhirat. Sedang kemandirian merupakan kebutuhan pragmatis manusia yang harus dipenuhi, kalau tidak bisa menggagalkan upaya berkembang dan berjasa.

 

  1. Orang Biasa Yang Bersikap Luar Biasa

Dengan kemampuan alumni pesantren dalam menerapkan konsep berkembang, berjasa dan mandiri, maka berarti telah benar-benar terjun dalam masyarakat. Dalam proses inilah, terkadang nasib yang dialami alumni pesantren berbeda-beda; ada yang bisa menjadi Kiai, tokoh masyarakat, ulama’, pejabat, pengusaha, tapi ada pula yang menjadi orang-orang biasa saja; pedagang, petani, nelayan, guru, dan hidup berkeluarga seperti orang kebanyakan.

Dalam konteks menjadi orang biasa ini, alumni pesantren dituntut memberi makna lebih supaya tidak menjadi seperti orang awam kebanyakan yang hanya hidup untuk makan, tidur, bermain-main dan mati, melainkan berupaya sedemikian rupa memberi makna dalam kehidupan yang dijalani, sehingga prinsip “orang yang paling baik adalah yang paling bermanfaat” bisa diwujudkan dalam kenyataan.

 

  1. Kenyataan Hidup Yang dihadapi Alumni Besantren

Selama hidup di pesantren, dianggap sebagai sesuatu yang susah, tidak menyenangkan, penuh liku-liku, penuh berbagai macam masalah, bahkan ada yang menganggap sebagai “penjara suci”. Latar belakang inilah yang membimbing sebagian alumni pesantren menganggap bahwa pada waktu lulus mereka harus hidup menyenangkan di rumah sebagai kompensasi dari kehidupan yang susah di pesantren.

Pandangan ini tentu saja keliru dan bisa menyesatkan, sehingga menyulitkan para alumni saat bersosialisasi dengan masyarakat. Seharusnya, seberapa berat, susah, tantangan dan masalah yang dihadapi di pesantren dijadikan sarana untuk menjalani hidup yang lebih baik begitu terjun di tengah-tengah masyarakat. Perlu diingat problematika yang dihadapi di masyarakat lebih kompleks, rumit, dan lebih susah dari kehidupan yang dijalani di pesantren.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat berupaya dicari latar belakang masalah, pokok permasalahan yang dihadapi, dan solusi yang tepat. Bagaimana mungkin alumni pesantren bisa melakukan semua itu, jika disibukkan dengan “kompensasi” kehidupan yang tidak menyenangkan di pesantren?

Kenyataan hidup lain yang dihadapi alumni pesantren ialah upaya hidup mandiri terkadang membuat alumni pesantren tidak bisa berkembang dan berjasa. Untuk itu, pada tahap awal hidup mandiri harus diusahakan terlebih dahulu sampai bisa berjalan normal, baru berusaha mengembangkan diri lewat belajar otodidak, dan berjasa sesuai kemampuan yang dimiliki. Namun, tidak boleh terlalu disibukkan dengan usaha mandiri, sampai lupa untuk berkembang dan berjasa.

Hal ini sepertinya dialami sebagian besar alumni pesantren yang menjadi masyarakat biasa di tengah-tengah masyarakat. Mereka disibukkan urusan usaha, keluarga, dan diri sendiri, sehingga lupa bahwa dirinya memiliki makna lebih sebagai alumni pesantren, yakni senantiasa melakukan amal shaleh, melakukan kebajikan, membantu fakir miskin dan orang-orang terlantar. Inilah salah satu makna menjadi orang biasa yang bersikap luar biasa.

 

  1. Belajar Otodidak sebagai Alternatif Pembelajaran Seumur Hidup

Selama ini pembelajaran dibatasi di ruang kuliah di universitas fromal, padahal pembelajaran yang hakiki adalah belajar di universitas kehidupan. Untuk belajar di universitas kehidupan, setiap orang bisa melakukannya dengan cara yang berbeda. Agar berhasil dalam belajar otodidak, perlu mendalami buku Belajar Otodidak, Kuliah Alternatif dalam Abad 21.

Dengan belajar otodidak seumur hidup seseorang akan mampu memaknai kehidupan lebih dari orang lain, meski yang dilihat sesuatu yang sama, mewujudkan diri menjadi orang baik yang paling bermanfaat dalam makna berbeda, beradabtasi dengan baik, dan mengatasi berbagai macam permasalahan dengan solusi yang tepat.

Seseorang menjalani hidup puluhan tahun; pengalaman, informasi yang dikumpulkan, kenyataan yang dihadapi, kompleksitas permasalahan yang diatasi, dan bermacam-macam hal hakikatnya telah dimiliki setiap orang. Hanya saja, banyak orang yang tidak menyadari bahwa semua itu harus dikelola dengan baik agar berhasil menjalani kehidupan, sekaligus berhasil menjadi orang yang paling bermanfaat.

Pengalaman seseorang perlu dicatat, khususnya pengalaman-pengalaman yang berkesan dalam hidup. Pencatatan pengalaman penting, sebab anak cucu dan generasi mendatang bisa jadi mengalami hal yang sama, bahkan terkadang seseorang mengalami sesuatu secara berulang kali. Tanpa pencatatan yang baik, maka seseorang akan menghadapinya dari awal kembali, sesuatu yang sia-sia. Di samping itu, hal ini bisa dimanfaatkan untuk membuat karya tulis.

Informasi kini membanjiri kehidupan manusia di luar kendali dirinya, maka yang penting bukan memperoleh banyak informasi, melainkan mengelola informasi sebaik-baiknya demi kepentingan diri dan orang lain. Seseorang yang membiasakan diri mengelola informasi dengan baik, tentu akan lebih bisa berhadapan dengan berbagai perubahan situasi dan kondisi yang ada. Sebaliknya, orang yang tidak mampu mengelola informasi dengan baik akan ditelan arus perubahan, akibatnya akan ditelan arus perubahan yang terjadi.

Permasalahan hidup datang hampir setiap jam, hari, bulan, dan tahun. Ada yang bisa diatasi, tapi banyak pula permasalahan yang tidak bisa diatasi. Penumpukan masalah yang tidak bisa diatasi, bisa membimbing seseorang menjadi stres, depresi, putus asa dan gila. Tentu setiap orang tidak ingin mengalaminya, maka jalan keluar yang tepat ialah membiasakan menghadapi masalah dengan kepala dingin, mencari solusi yang tepat, dan mengatasinya dengan bijaksana.

Banyak hal lain yang bisa dipelajari dalam hidup manusia, awal kehidupan, masa-masa sekola, masa remaja, beranjak dewasa, dewasa, tua dan mati. Siklus kehidupan ini bisa menjadi pembelajaran bahwa terkada orang ada di bawa, tengah dan atas, terkadang sebaliknya. Tidak perlu terlalu sedih berada di bawah, sebab suatu waktu dengan pembelajaran seumur hidup akan bisa meningkatkan diri berada di tengah dan atas. Tidak perlu terlalu gembira berada di atas, sebab suatu waktu akan jatuh ke tengah dan ke bawah. Biarkan hidup mengalir seperti air!

 

  1. Menjadi Muslim, Mukmin dan Muhsin yang Hakiki

Alumni pesantren telah dibekali secukupnya untuk menjadi seorang muslim dan mukmin yang kuat. Hanya saja, bekal yang cukup memadai akan menjadi sia-sia manakala tidak mampu mewujudkan hal itu dalam kenyataan hidup yang dijalani. Berapa banyak alumni pesantren yang semakin pintar, cerdas, dan jenius justru semakin jauh dari Allah, malah zaudzubillah menjadi duri dalam daging umat Islam seperti yang dilakukuan kelompok Jaringan Islam Liberal dan Islam Radikal.

Hal ini dikarenakan ilmu yang diperoleh tidak dijadikan sarana untuk semakin mendekatkan diri pada Allah. Sarana mendekatkan diri adalah menjadi Muslim dan Mukmin yang baik, dan berusaha memberikan sumbangsih pada umat Islam lainnya sesuai kemampuan yang dimiliki.

Untuk menjadi muslim yang baik, rukun Islam dipahami dengan sudut pandang yang benar, dan pengetahuan yang diperoleh diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Syahadat ialah komitmen bahwa hanya ada Satu Tuhan dengan meniadakan yang lain, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah. Meniadakan segala sesuatu selain Allah; tidak takut siapa dan apa pun kecuali Allah, tidak menuhankan harta, uang, nafsu, dan emosi, tidak menuhankan pikiran, teknologi, digitalisasi, dan globalisasi, tidak menomersatukan diri, anak, dan keluarga di atas kepentingan Allah. Sedang kesaksian tentang kenabian Nabi Muhammad mengandung makna supaya umat Islam bisa meneladani beliau dari berbagai aspek kehidupannya, sehingga bisa menjadi insan kamil atau manusia paripurna.

Shalat lima waktu tidak dianggap kewajiban, melainkan kebutuhan spritual manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Lewat komunikasi yang intensif seseorang bisa mengoptimalkan ilham, intuisi, dan hati nurani, sehingga bisa menyeimbangkan kecerdasan emosi dan kecerdasan akal. Shalat dijalankan secara khusu’ yakni anatara apa yang dibaca, dipahami maknanya dan diresapi dalam hati nurani, sehingga kualitas shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar, dan membimbing seseorang untuk berbuat kebajikan.

Puasa ialah sarana mengontrol emosi, kesadaran dan tingkah laku. Emosi berusaha diatur sedemikian rupa untuk bisa memperkuat kepribadian seseorang. Berusaha untuk melakukan sesuatu dalam keadaan sadar yang tercerahkan dengan hati nurani dan pikiran. Berusaha bertingkah laku dengan baik terhadap sesama manusia, sesama makhluk bumi, sesama ciptaan Allah dan terutama terhadap Allah. Dengan pemaknaan ini, puasa seseorang akan mampu mewarnai 11 bulan yang dijalani setelah bulan ramadhan. Inilah makna lain dari puasa seseorang bernilai 1000 bulan.

Zakat dijadikan upaya membersihkan harta dari segala sesuatu yang siapa tahu tidak sesuai dengan yang diharapkan Allah, berbagi pada sesama yang membutuhkan dan menciptakan keadilan ekonomi di tengah-tengah umat Islam. Umat Islam banyak sekali yang hidup di bawah garis kemiskinan, terlantar, terpinggirkan dan tak mampu bangkit dari keterpurukan. Salah satu jalan keluarnya ialah mengelola zakat secara profesional, sehingga orang-orang yang membutuhkan bisa mengelola kembali zakat yang diperoleh, bukan dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif sesaat.

Haji bisa merupakan usaha untuk memperkuat mentalitas Muslim menjadi lebih baik, bersilaturahmi dengan jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, menyatukan kekuatan umat Islam dalam kesatuan bukan tercerai berai seperti sekarang, dan “mabrur” dalam makna setelah berhaji pandangan hidup, tingkah laku, sikap hidup dan menjalani kehidupan dengan lebih baik sesuai dengan harapan Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Menjadi Mukmin yang kuat diwujudkan dalam; kepercayaan pada Allah, Kitab Allah, Rasul Allah, hari akhirat, alam ghaib, dan qadha’ atau qodar yang diwujudkan dalam keyakinan dalam diri. Keyakinan akan diperoleh dengan ilmu, pembuktian langsung lewat pembacaan kreatif terhadap kehidupan yang dijalani, pemahaman makna Al-Qur’an dan sunnah yang hakiki, pembacaan kritis dan kreatif terhadap fenomena semesta, pembelajaran seumur hidup dan meningkatkan kualitas ibadah spritual dan sosial sepanjang hidup yang dijalani.

Dalam upaya menjadi Muslim dan Mukmin yang kuat, dijalani dengan konsep ihsan yakni beribadah kepada Allah seakan-akan melihatNYA, jika tidak mampu melihatnya berusaha merasakan kehadiran Allah dalam beribadah. Merasakan kehadiran Allah juga bisa dilakukan dalam menjalani setiap detik, menit dan jam waktu dari kehidupan yang dijalani, sehingga Allah benar-benar hadir dalam hidup seseorang.

Kehadiran Allah dalam sepanjang hidup seseorang akan mampu menjadi energi positif, sumber inpirasi yang tidak pernah kering, motivasi yang tak pernah mati, kekuatan dasyat yang menyokong mental, memperkuat keislaman, keimanan, dan ketakwaan seseorang. Inilah perwujudan makna menjadi Muslim, Mukmin dan Muhsin yang sebenarnya.

 

  1. Membentuk Kader-Kader Unggulan

Risalah merintis membuka jalan

Dakwah melanjutkan ….

Dari generasi ke generasi

Tanpa kenal berhenti

Kaderisasi pada hakekatnya adalah usaha menuju kelangsungan dakwah Islamiyah. Dakwah Islam tidak akan berjalan mulus tanpa lewat jalur pendidikan. Kaderisasi, dakwah, dan pendidikan ibarat tiga sisi dari segitiga yang saling berhubungan, terjalin erat tak bisa dipisahkan. Ketiganya memiliki konotasi mempersiapkan, menawarkan gagasan dan meyakinkan serta mengajak orang lain seperti yang kita inginkan (to be like our purpose).

Dilihat dari sudut sasaran (objek) dan medan (scene), barangkali ada dua bentuk kaderisasi di kalangan umat Islam. Kedua bentuk yang dimaksud akan dijelaskan dalam uraian berikut.

Pertama; mempersiapkan kader-kader yang bertanggung jawab atas kelangsungan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat sebagai Mundzirul Qoum. Mereka merupakan thaifah muttafaqqih fid-dien, yakni kelompok umat yang terdiri dari orang-orang yang bukan saja mengerti agamanya (scholar of religion), sekaligus memiliki jiwa agamanya (religius scholar), dan mampu mengamalkannya bagi kemalahatan diri dan umatnya, terutama dalam rangka indzalur qoum sebagai tugas utamanya (Q.s: 9;122).

Kedua; usaha mepersiapkan kader-kader umat yang tangguh dalam rangka mempertahankan identitas khoira ummah yang telah Allah sematkan pada umat Islam. Usaha kaderisasi ini mengacu pada kriteria utama yang termaktub dalam Al-Qur’an; menyuruh amar ma’ruf, mencegah diri dan orang lain dari berbuat kemungkaran, dan beriman pada Allah   (QS. 3;110). Tanpa implementasi kriteria utama ini, maka identitas yang disematkan Allah hanya akan menjadi kebanggaan semu, yang kehilamngan jiwa dan maknanya.

Untuk menjadi khoira ummah yang bisa mewujudkan kebangkitan Islam di Indonesia dalam makna hakiki, perlu dibentuk kader-kader khusus dari kalangan alumni pesantren yang akan menjadi tokoh-tokoh penggerak dari cita-cita mulia tersebut. Di samping perlunya mencetak kader-kader pendidik yang berkualitas, sehingga mendukung upaya di atas.

Tugas menyiapkan kader-kader khairo ummah ini dilakukan setiap Muslim tanpa kecuali, lewat berbagai cara yang memungkinkan. Baik secara individual dengan membentuk pribadi-pribadi Muslim yang tangguh, maupun secara kolektiof institusiunal; melalui keluarga, lembaga pendidikan (formal, informal, dan nonformal), jamaah, oragnisasi, pemerintahan, dan masjid.

Kedua bentuk kaderisasi ini, lantas diperluas menjadi empat bentuk kaderisasi; kaderisasi mundzirul qoum, kaderisasi pengasuh pesantren, kaderisasi, pendidik profesional dan kaderisasi pelopor perubahan.

a. Kaderisasi Mundzirul Qoum

Menganalisa kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat, terdapat dua kelompok mundzirul qoum; kelompok ilmuan, pemikir atau ulama dan kelompok pemimpin umat.

Dalam kelompok pertama metode indzarul qoum yang dilakukan lebih berbentuk konsepsi-konsepsi, bersifat teoritis ketimbang bentuk pragmatis yang dirasakan langsung masyarakat. Mereka terdiri dari; cendikiawan, intelektual, penulis, filsuf, dan tokoh masyarakat, yang secara eksplisit, bila benar benar takut hanya pada Allah berhak menyandang predikat Ulama (QS. 35;28).

Sebagai Ulama yang menjadi pewaris para Nabi, mereka dituntut berupaya mewarisi sifat dan sikap Nabi, dan melanjutkan tugas-tugasnya di tengah-tegah umat, yang antara lain disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dialah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, membacakan ayat-ayatNYA pada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan pada mereka kitab dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.” (Qs: Al-jumu’ah;2)

Secara jelas disebutkan tugas-tugas seorang ulama yaitu; membacakan ayat-ayat Allah yang bersifat tanziliyah seperti Al-Quran dan yang bersifat kauniyah seperti sunnatullah, menyucikan jiwa-jiwa umat dari berbagai anasir yang mengotorinya, dan mengajarkan pada mereka tentang Kitab Allah dan hikmah.

Untuk merealisasikan tugas ini, mereka harus memiliki wawasan keilmuan yang luas, kemampuan memahami Al-Qur’an dan hadits dengan menguasai Bahasa Arab, ketajaman analisa menangkap hikmah, tetap berpijak di atas keimanan dan akhlak mulia yang tinggi, sehingga apa yang disampaikan pada umat tidak terlepas dari konteks masalah umat itu sendiri.

Kelompok kedua yakni pemimpin umat, yang termasuk dalam kategori yang memperdalam agamanya (muttafaqqih fid-dien), misi indzarul qoum mereka dalam hal-hal yang langsung menyentuk kepentingan umat. Mereka secara langsung terjun di tengah-tengah umat, membimbing, membina, berdakwah, dan mengarahkan pada hal-hal yang membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat. Pada umumnya mereka disebut pemimpin umat (formal atau nonformal), pekerja sosial, pemuka masyarakat, pemimpin lembaga pendikan, sosial, budaya dan politik.

Sebagai pemimpin umat Islam, mereka berusaha menerapkan cara-cara yang digunakan Rasulullah dalam memimpin kamu muslimin, antara lain dengan menyatukan sifat-sifat beliau dalam diri setiap pemimpin umat. Sifat-sifat tersebut ialah; merakyat (min anfusikum), rendah hati, tidak sombong, memiliki kepekaan sosial terhadap masalah-masalah umat (‘azizun ‘alaihi ma ‘anittum), tanggap pada penderitaan umat, memiliki wawasan ke depabn yang lebih baik, future oriented (harisun ‘alaikum), tidak mudah puas pada apa yang telah dicapai, memiliki solidaritas yang tinggi, kasih sayang pada sesama, bersikap lemah lembut pada ummat (bil mu’miniena roufun rohiem).

Untuk menjadi pemimpin yang memiliki multi sifat yang paripurna, diperlukan wawasan kepemimpinan dan kemasyarakatan yang luas, kemapuan managerial yang memadai. Setiap pemimpin dari kedua kelompok mundzirul qoum ini, diharapkan menyempurnakan dirinya dengan merangkum berbagai sifat-sifat mulia yang dijelaskan di atas..

Begitulah kira-kira dua sosok kader yang harus dipersiapkan lewat proses pendidikan di dunia pesantren. Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah kader mundzirul qoum, sehingga menimbulkan dikotomi dalam bentuk yang lain, sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan pembagian ini diharapkan antara kedua kelompok yang ada saling mengisi satu sama lain, dan sebagai upaya identifikasi kader-kader yang ada, agar mempermudah pembinaan dan penyiapannya, sesuai kecendrungan dan minta masing-masing.

 

b. Kaderisasi Pengasuh Pesantren

Untuk mempersiapkan kader-kader pengasuh pesantren, harus digarap secara serius dan khusus, dibandingkan mempersiapkan kader-kader lainnya. Setiap pengasuh pesantren dituntut memiliki kemampuan ganda; wawasan keilmuan sekaligus wawasan kepemimpinan yang memadai. Jadi seorang pengasuh pesantren adalah seorang ilmuan yang menjadi pemimpin umat.

Di pundak mereka terdapat tanggung jawab atas implementasi kaderisasi mundzirul qoum. Tanpa memiliki kemampuan tadi rasanya sulit bagi para pengasuh pesantren guna merealisasikan tugas kaderisasi sebaik-baiknya, hingga mencapai sasaran yang diinginkan[iv]. Mungkin timbul pertanyaan, sejauh mana kesiapan pesantren menjadi pelaku utama dari kaderisasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya bila terlebih dahulu mengetahui misi dan fungsi pondok pesantren sebagai sebuah institusi.

Misi dan fungsi utama pesantren ialah pendidikan. Pendidikan yang menjadi jiwa sebuah pesantren merupakan kegiatan sentral dalam upaya menciptakan kader-kader yang diinginkan. Seluruh kegiatan yang dilaksanakan tidak luput dari konteks pendidikan. Maka apabila muncul pemikiran, obsesi, imajinasi dan tindakan di pesantren yang keluar dari konteks pendidikan, perjuangan dan pengabdian, jelas merupakan penyimpangan dari misi dan fungsi pesantren.

Dengan demikian secara institusional pondok pesantren adalah lembaga pendidikan, sekaligus lembaga pengabdian dan perjuangan dalam rangka mempersiapkan santri menjadi pemimpin umat. Karenanya seorang pengasuh pesantren bisa pula disebut sebagai pendidik (murobbi), pejuang (mujahid) dakwah, dan pembantu pondok atau umat (khodimul ma’had wal ummah). Apabila pesantren memiliki prasyarat ini, maka tidak diragukan lagi kesiapannya menjadi agen utama kaderisasi mundzirul qoum.

Kemampuan itu tidak boleh membuat puas diri, diperlukan upaya-upaya tambahan seperti usaha kolektif, inovatif dan kreatif yang terus menerus guna memperbaiki, menyempurnakan, sekaligus meningkatkan sistem, sarana, substansi, dengan tetap berpedoman pada prinsip awal menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik; Al-muhafdhah ‘Alal Qodiemis sholeh wal-akhdzu bil jadidil aslah.

Sebaliknya jika nilai-nilai di atas sudah mengalami erosi, sehingga pesantren tidak bisa lagi menjalankan atau paling tidak menyimpang dari fungsi utamanya, maka bukan saja tidak mampu menjadi agen kaderisasi mundzirul qoum, bahkan akan kehilangan identitas dirinya, kalau tidak akan disebut menafikan eksistensinya sebagai sebuah pondok pesantren. Kiranya sebuatan-sebutan “sekolah diasramakan atau asrama yang dipimpin Kiai, bengkel tenaga kerja pedesaan, atau laboratorium masyarakat,” menjadi indikasi awal dari fakta hilangnya misi dan fungsi utama sebuah pesantren.

Menghadapi berbagai permasalahan ini, pengasuh pesantren perlu mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar upaya menciptakan kader-kader mundzirul qoum yang mempuni bisa berhasil. Paling tidak ada delapan langkah yang perlu diambil mengatasi hal ini.

Pertama; selalu mengadakan retropeksi dan reorientasi terhadap segala langkah yang sudah dilaksanakan, turutama yang berhubungan dengan kaderisasi mundzirul qoum agar terhindar dari mispresepsi atau overlaping dalam arti terlalu asyik mengerjakan sesuatu yang sebenarnya menjadi tugas orang lain, sehingga sampai melupakan pada tugasnya sendiri.

Kedua; kesadaran pada kekeliruan diikuti dengan langkah yang lebih penting yakni keberanian moril untuk mengadakan renovasi, jika perlu koreksi total, sampai terhadap apa-apa yang selama ini dianggap mapan, baik menyangkut substansi, sistem, maupun tujuan yang ingin dicapai. Guna memuluskan langkah ini diperlukan sikap saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (tawashi bil haq watawashi bis-shabr) antar sesama pengasuh pesantren, dan kebesaran jiwa menerima kritik yang paling pahit sekalipun demi kebaikan pesantren.

Ketiga; menetap skala prioritas dalam merencanakan (planing) dan melaksanakan (organizing) program-program pendidikan, dengan mendahulukan yang bersifat primer (dharuri) dari hal-hal yang bersifat sekunder (kamali).

Keempat; Menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya proses kaderasi secara mulus dan lancar tanpa hambatan. Segala sesuatu yang diperkirakan menghambat proses pendidikan sebaiknya dihindari.

Kelima; melakukan pemantauan semenjak dini terhadap bibit-bibit unggul yang potensial; intelegensia, emosional qoistion, religius quistion, dan mental, dalam berbagai bidang. Dengan tanpa paksaan bisa dilakukan bimbingan dan orientasi kontekstual (muqtahal hal) sesuai bakat, kecendrungan, potensi dan kondisi masing-masing.

Keenam; bagi santri-santri yang dianggap memiliki potensi besar menjadi mundzirul qoum, perlu ditumbuhkan rasa percaya diri (self confidence) lewat pendekatan pribadi, dengan memberikan peluang yang luas guna mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dirinya.

Ketujuh; melakukan pembinaan yang seksama terhadap alumni pondok pesantren, khususnya yang memiliki potensi di atas, dengan memeberikan kesempatan yang memungkinkan, sehingga kemungkinan berubahnya orientasi mereka bisa diminimalisir.

Kedelapan; mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan dengan senantiasa melakukan evaluasi berkala; mingguan, bulanan, triwulan, semester, dan tahunan, menggunakan metode-metode yang benar dan parameter yang jelas, sehingga bisa dipertanggung jawabkan keakuratannya.

Mengingat kompleksitas masalah, cepatnya perubahan yang terjadi, kemajuan teknologi yang senantiasa berakselerasi, dan hantaman informasi dari berbagai sudut, sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan pesantren, mempersiapkan kaderisasi umat tidak hanya di tingkat SMU atau marhalah aliyah, sarjana S1, pasca sarjana S2, bahkan sampai tingkat doktoral S3. Jika memiliki keterbatasan untuk belajar secara akademis, bisa mencari alternatif pembelajaran lewat belajar sendiri atau belajar otodididak, gelas S1, S2, dan S3 bisa juga diraih lewat jalur alternatif ini. Sehingga mereka mampu bersaing, bisa mengoptimalkan seluruh kemampuan, menjadi manusia yang paling bermanfaat, dan mampu mencapai hikmah; makna dari segala makna kehidupan.

  1. Kaderisisasi Pendidik Profesional

Pesantren adalah merupakan tempat yang tepat untuk melakukan kaderisasi pendidik profesional, mengingat pendidikan pesantren tidak hanya diarahkan pada pendidikan ilmu semata, melainkan juga mendidik moral, etika, agama yang benar, kecerdasan emosi dan spritual, bahkan semua itu dilaksanakan selama 24 jam dengan pengaturan waktu yang baik.

Ini berarti tenaga pendidik yang dihasilkan tidak hanya mentransfer ilmu pada murid, melainkan juga mentransfer segala sesuatu yang pernah dipelajari di pesantren, sehingga nilai-nilai Islam menyebar dan digunakan umat Islam secara luas di berbagai penjuru Indonesia, mengingat alumni pesantren; salaf, modern dan posmodern, hampir merata di seluruh Indonesia.

Untuk menghasilkan pendidik profesional, ada beberapa hal yang harus dilakukan; mengintegrasikan jiwa pesantren ke dalam diri alumni pesantren, mengintegrasikan Islam dan Iman ke dalam jiwa, memperdalam Al-Qur’an dan Sunnah, belajar seumur hidup melalui otodidak dan akademis, memahami ilmu psikologi, mendidik dengan senang hati, dan melakukan persiapan yang matang setiap kali mengajar.

Jiwa pesantren yang berupa; keikhlasan, kesederhanaan, ukhuah Islamiyah dan ukhuah basyariah, kemandirian, dan kebebasan, tidak sekadar dipahami maknanya seperti yang dijelaskan sebelumnya, melainkan diintegrasikan dalam jiwa alumni pesantren. Artinya sikap hidup keseharian mencerminkan kesederhanaan, tanpa pamrih dalam melakukan berbagai macam aktivitas, menjadikan perbedaan di kalangan umat Islam sebagai sarana untuk bersatu padu dalam upaya mengangkat derajat dan martabat mereka yang masih banyak hidup dalam kebodohan, kekurangan, dan kemiskinan, kemampuan menciptakan persatuan sesama umat Islam diperluas dengan persatuan umat manusia sehingga Islam menjadi rahmatan lil’alamien, hidup mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup tidak tergantung dari gaji atau penghasilan dari mendidik, dan menjadikan kebebasan berkehendak, berpikir berimajinasi, berdialog, bertindak yang bertanggung jawab sebagai prinsip hidup.

Selama di pesantren para alumni mampu melaksanakan shalat jama’ah lima waktu, rajin shalat sunnah tahajjud, dhuha dan hajat, dan melaksanakan puasa dengan benar. Semua itu harus mampu dilaksanakan juga di tengah-tengah masyarakat, sehingga apa yang dipelajari dan dilaksanakan di pesantren menjadi ilmu yang bermanfaat. Tentu setelah memiliki kemampuan, harus berupaya untuk melakukan zakat fitrah dan harta, menunaikan ibadah haji supaya sempurna keislaman seseorang. Saat bersamaan, keimanan yang telah dipelajari di pesantren berusaha diyakini dalam jiwa ketika terjun di tengah-tengah masyarakat. Keduanya lantas dibingkai ihsan yakni merasakan kehadiran Allah dalam berbagai keadaaan dan waktu. Dengan ini semua, maka tantangan yang besar, permasalahan yang kompleks, perubahan yang dasyat, pengaruh dari Barat atau Timur, dan belajar ilmu apa pun, justru mempertebal keyakinan terhadap Islam.

Ketika membaca Al-Qur’an berusaha dipahami maknanya. Dengan kemampuan bahasa Arab yang dimiliki alumni pesantren, memahami Al-Qur’an insya Allah bisa dilakukan dengan mudah. Pemahaman ini bukan sekadar membuat seseorang menjadi pintar dan pandai berbicara, namun berusaha dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Manakala diri merasa gundah gulana karena merasa sendirian dalam berjuang di jalan Allah, kuatkan dengan ayat “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Ketika berusaha sekuat tenaga, tapi hasil yang diperoleh kurang memuaskan, introspeksi dengan ayat “jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah pada Allah.” Jika merasa hidup dalam kekurangan, padahal sudah mengabdikan hidup pada Islam melalui jalur pendidikan, ingatlah pada ayat Allah “Tidak seekor lalat pun di muka, kecuali Allah yang memberi rizki,” di samping itu, ingatlah pada kehidupan sederhana Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib.

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang pernah dipelajari dan dihapalkan, berusaha dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai misal, hadis “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi Muslim dan Muslimah,” dan “Tuntutlah ilmu dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat,” dijadikan pegangan hidup dalam upaya untuk terus menerus belajar sepanjang hayat. Ingat, belajar tidak hanya terbatas di ruang kuliah, melainkan bisa belajar cara orang membuat sesuatu, cara orang menjalani kehidupan, cara orang mengatasi masalah, cara orang menghadapi tantangan, kesusahan, dan perasaaan sedih atau stres, cara orang berkomunikasi, cara orang berinteraksi sosial, cara orang memenuhi kebutuhan hidup, juga bisa mempelajari sunnatullah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan alam, mempelajari realitas kehidupan, dan mempelajari segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Apa yang dipelajari berusaha diajarkan pada murid-murid mereka.

Bagi yang memiliki kemampuan intelektual dan finansial, bisa melanjutkan kuliah S1, S2 dan S3, bahkan sampai mampu meraih gelar profesor. Sedang yang tidak mampu secara finansial, hal yang sama bisa dilakukan melalui belajar otodidak, asal pembelajaran dilakukan dalam makna hakiki.

Ilmu psikologi penting dalam rangka memahami kejiwaan murid, memberi bantuan nasihat yang tepat, mengajar murid sebagai individu bukan kelompok, mencari cara-cara tertentu yang sesuai dengan kejiwaan murid, dan menyempurnakan kualitas pengajaran. Belajar ilmu psikologi dapat dilakukan dengan membaca buku-buku psikologi terbaru, baik berasal dari penulis Barat mapun penulis Indonesia sendiri.

Dalam mengajar dilakukan dengan senang hati, sehingga apa yang diajarkan mudah diserap murid. Pada waktu bersamaan, murid juga dibentuk menyenangi belajar di pesantren atau sekolah. Mengajar dan belajar yang menyenangkan akan membuat seseorang mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki, memudahkan mengajar, membuat memori seseorang mampu menyimpan apa yang dipelajari secara langgeng, dan menjadikan proses belajar mengajar berlangsung secara efektif. Untuk itu, seorang pendidik dituntut bijaksana dalam menghadapi keadaan murid. Contoh; waktu siang hari dengan matahari yang terik, pendidik dapat menyuruh murid untuk berdiri dan menggerak-gerakkan badan sejenak, memulai pelajaran dengan cerita atau humor dan baru mengajar materi pelajaran.

Persiapan yang matang sebelum mengajar harus dilakukan sebagai syarat utama pendidik profesional. Biasakan membuat sistematika apa yang akan diajarkan pada murid, mencari refrensi pada berbagai macam buku, memberikan contoh-contoh dengan kenyataan hidup, dan memperbaharui pengetahuan tentang ilmu yang sama. Untuk mengatasi kebosanan dan kejenuhan karena mengajar materi yang sama, sehingga beranggapan persiapan tidak perlu, maka pendidik profesional berupaya memperbaharui pengetahuan tentang ilmu yang dikuasai melalui membaca buku-buku baru dan melihat semesta atau kehidupan dari sudut pandang yang baru pula. Ini akan memperluas ilmu yang dikuasai, sekaligus memperkaya murid dengan wawasan kebaruan, sesuatu yang mereka butuhkan dalam rangka menghadapi arus perubahan dan kompleksitas kehidupan. Ilmu semakin dikuasai bertambah dalam dan luas.

 

  1. Kaderisasi Pelopor Perubahan

Dengan terbentuknya kaderisasi mundzirul qoum dan pengasuh pesantren, tidak kalah pentingnya ialah menciptakan kader-kader pesantren untuk bisa mempelopori kebangkitan Islam di Indonesia. Untuk pengkaderan yang ketiga bisa dilakukan alumni pesantren apa pun profesi yang diteknuninya.

Beberapa langkah yang perlu diambil dalam rangka menciptakan kader-kader pelopor kebangkitan Islam di Indonesia adalah melakukan perubahan terhadap diri alumni pesantren, membentuk kelas menengah baru dari kalangan pesantren, menyatukan semua potensi umat Islam, dan mewarnai kehidupan dengan nilai-nilai Islam.

Setiap alumni pesantren berusaha sekuat tenaga untuk mengembangkan diri lewat belajar formal dan otodidak, menerapkan hasil pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari, berusaha menyebarkan pengetahuan yang diperoleh pada umat Islam lainnya. Semua ini bisa membawa perubahan terhadap diri sendiri; merubah prilaku yang buruk, emosi yang tak terkendali, menganti sifat-sifat buruk dengan yang baik, dan menyeimbangkan semua potensi diri yang dimiliki, sekaligus perubahan terhadap orang lain, baik lewar penyebaran ilmu, amal shaleh, maupun suri tauladan.

Alumni-alumni pesantren harus terjun dalam dunia wiraswasta; sebuah dunia terbuka lebar untuk berhasil mengelola usaha sendiri. Dunia usaha dimulai dari sesuatu kecil, diusahakan supaya bisa berjalan normal, mengembangkan diri menjadi usaha menengah, dan sampai menjadi usaha kelaks atas. Hal ini dilakukan dengan proses waktu yang lama, butuh pengorbanan, kerja keras, ketekunan, semangat pantang menyerah, kemampuan membaca pasar lokal dan global, hidup hemat, dan mengatur usaha dengan cara-cara yang profesional. Dari sini akan lahir kelas-kelas menengah baru dari Pesantren, sehingga bisa membiayai “proyek-proyek” kebangkitan Islam di Indonesia.

Semua potensi umat Islam berusaha disatukan; para ilmuan akademis dan otodidaktor menyumbang pemikiran, penelitian dan solusi, kelas menengah baru alumni pesantren menyumbang materi sebagai mesin penggerak, dan alumni pesantren lainnya di berbagai bidang yang ditekuni berusaha mengimplementasikan hasil dari penelitian, pemikiran dan solusi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan, bila semua kekuatan umat Islam bersatu. Perbedaan madzhab, latar belakang sosial, pandangan hidup dan hal-hal yang tidak prinsip lainnya berusaha disingkirkan dulu, dalam upaya memberdayakan umat Islam dari berbagai aspek kehidupan.

Secara perlahan-lahan umat Islam menjalani hidup sehari-hari berdasarkan nilai-nilai Islam. Ingat Al-Qur’an diturunkan Allah dalam jangka waktu 22 tahun, 22 bulan dan 23 hari, ini bermakna bahwa penerapan nilai-nilai Islam dilakukan secara alami dalam proses waktu yang lama. Dengan penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan, maka secara perlahan tonggak kebangkitan Islam telah ditancapkan. Baru memikirkan langkah lebih lanjut yang lebih besar dan bermakna bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

 

Kehidupan manusia masa kini semakin tak menentu, perkembangan teknologi di luar kendali sang pembuatnya, informasi yang awalnya menjadi alat kini berubah menjadi tujuan, semakin kaburnya perbedaan antara; subyek dengan obyek, fakta dengan fiksi, realitas dengan simulasi, krisis global dan nasional yang datang silih berganti, nilai-nilai moralitas yang tak lagi diacuhkan, gaya hidup yang memuakkan, manusia yang tak lagi mampu memahami dirinya, agama dijadikan simbol bukan pegangan hidup, dan banyak masalah lainnya yang menghantam semesta, bumi dan manusia.

Dalam konteks umat Islam, ini diperparah dengan kalangan yang disebut Ulama’, tokoh masyarakat, Habib, Kiai, dan pemuka adat berlomba-lomba “hidup” dalam gaya baru dengan barometer utamanya adalah materi dan uang, sehingga umat Islam seperti kehilangan induknya. Mereka seperti anak-anak ayam yang dibiarkan berjalan sendiri tak tentu arah, tujuan dan tanpa rencana, sehingga yang tampak di hadapan adalah rasa frustasi, stres, mental krupuk, mudah menyerah, lemah, pemalas, hidup dengan cara mudah, menghalalkan segala cara, Islam sekedar jadi pajangan di KTP, simbol-simbol Islam dari permukaan kuat padahal rapuh, dan terdera penyakit “nasib” bahwa keadaan yang demikian tidak bisa dirubah.

Realitas inilah yang mendorong saya menawarkan paradigma Kesadaran Personal sebagai alternatif kehidupan pada umat Islam di masa mendatang. Bagaimana bentuk dari paradigma ini? Bisakah paradigma ini menjawab tantangan zaman? Apa yang semestinya dilakukan generasi Muslim? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut akan dijawab dalam uraian berikut.

 

Politik Adalah Kesalah Masa Lalu

Sejarah selalu menawarkan pengalaman-pengalaman yang hampir serupa, sayangnya umat Islam tidak pernah mampu belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Anehnya mereka seperti “senang” terpuruk pada kesalahan yang sama berulang kali, padahal agama mereka mengajarkan untuk menjadikan kesalahan sebagai sarana memperbaiki diri dan tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Salah satu kesalahan terbesar umat Islam adalah kesalahan politik.

Tiada catatan yang lebih mengagumkan dari cara umat Islam Indonesia berjuang untuk memperoleh kemerdekaan, bahu membahu dalam kehidupan tidak menentu orde lama, menjadi orang pinggiran di era orde baru, burusaha eksis dalam era reformasi sekarang, namun intinya sama yakni mereka menjadi permainan politik. Islam bukan dijadikan tujuan politik melainkan alat politik. Perlu diingat bahwa Islam dijadikan tujuan dalam politik tidak mesti sama dengan pendirian negara Islam, yang dalam konteks Indonesia, menurut saya kurang relevan lagi.

Pada masa lalu, bagaimana partai-partai Islam yang jaya di masa Sarikat Islam dan Masyumi, namun sayangnya keduanya hancur dilindas sejarah karena permainan politik Soekarno. Pada masa orde baru diwakili PPP yang lagi-lagi sebenarnya menjadi kaki tangan Soeharto daripada membela kepentingan umat Islam. Pada era reformasi muncul partai-partai Islam PKS, PBB, PNU, dan partai nasionalis yang hakikatnya partai Islam juga PAN, PBR, dan PKB. Namun lagi-lagi kesalahan masa lalu diulang yakni Islam dijadikan alat politik, tokoh-tokoh partai ramai-ramai memperkaya diri tanpa mempedulikan umatnya, konflik internal lebih utama dari program partai, pemilihan ketua lebih penting dari pemberdayaan umat. Meskipun secara permukaan partai-partai Islam kuat, hakikatnya mereka kropos, kurang profesional, manajemen organisasi partai yang buruk, dan kelemahan lainnya memungkinkan umat Islam untuk menoleh pada Partai Demokrat, Golkar, dan PDIP. Sehingga kesimpulan akhirnya adalah umat Islam dalam politik seperti pion-pion dalam permainan catur, mereka tak berkutik dibawah kendali orang-orang kuat di belakangnya; menteri, luncur, gajah, kuda, dan raja.

Keadaan ini menuntut umat Islam untuk tidak mengulang kesalahan yang sama dulu, sebelum melangkah lebih jauh. Artinya diperlukan “tobat politik” dari berbagai lapisan masyarakat, mulai lapisan elit politik, kelas menengah dan masyarakat bawah. Mereka bertobat untuk tidak menjadikan Islam sebagai alat politik. Tokoh-tokoh elit politik memberikan contoh cara berpolitik yang santun, beradab dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Cara-cara menarik massa dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah untuk memilih partai tertentu, mulai dihilangkan. Umat Islam harus lebih cerdas dalam menyikapi program realistis setiap partai yang menawarkan kehidupan yang lebih baik pada mereka. Mereka perlu berkontemplasi, berpikir lama, dan jika perlu beristikhoroh untuk memilih partai yang benar. Partai-partai yang mengklaim partai Islam namun tidak tanduknnya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, partai-partai yang sekedar memanfaatkan simbol-simbol Islam, dan partai-partai yang mementingkan diri sendiri dari umat Islam harus, dihindari untuk dipilih. Hati nurani dijadikan barometer pemilihan suatu partai atau pemimpin bangsa di masa depan.

Langkah “tobat politik” dilanjutkan dengan membentuk kesadaran personal di bidang politik. Artinya umat Islam dituntut memiliki kesadaran yang utuh terhadap Islam, mereka memahami inti ajaran Islam, melaksanakan ibadah spritual dan sosial secara bersamaan, dan menjadikan Islam sebagai pegangan hidup, bukan yang lain. Jikapun mereka terlibat dalam suatu partai tertentu, tetap Islam yang dijadikan sandaran utama. Politik dijadikan alat untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam.

Nilai-nilai luhur Islam di bidang politik berusaha digali, dianalisa, dicerna, diperhatikan untuk kemudian ditanamkan dalam diri sendiri, sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Islam seperti; kejujuran, ikhlas, kesabaran, amal sholeh, cerdas secara emosional, intelektual dan spritual, istiqomah atau konsisten, kerja keras, tawakkal, dan ihsan bisa diterapkan dalam sendi-sendi politik umat Islam. Memang ini sulit dan butuh proses waktu yang lama, namun bila tidak dimulai dari detik ini juga, maka kembali umat Islam akan terpuruk pada kesalahan yang sama, mereka akan menjadi orang-orang pinggiran terus menerus.

 

Pemberdayaan Ekonomi Umat Islam

Disibukkan dengan masalah-masalah politik membuat umat Islam juga menjadi orang-orang pinggiran di bidang ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar aset ekonomi Indonesia “dikuasai” sebagian “kelompok” kecil masyarakat yang nota bene bukan umat Islam. Umat Islam malah hanya bisa memperebutkan “kue” ekonomi yang kecil dimanfaatkan sebagian besar masyarakat. Bisa ditebak, mereka terpuruk sekedar menjadi buruh, pekerja, karyawan, orang suruhan, pedagang eceran, pedagang asongan dan pedagang kaki lima.

Tulisan ini bukan mempertebal rasa iri, dengki, hasud dan anarkis terhadap “kelompok kecil” yang menguasai aset ekonomi, melainkan adalah membuka cara pandang umat Islam agar mau bekerja keras, gigih pantang menyerah, kreatif, cerdas, tekun, sabar, dan tak kenal rasa putus asa dalam mengelola usaha di bidang perekenomian sesuai bidang usaha masing-masing.

Para sarjana Muslim yang “terbiasa” berpikir bekerja di perusahaan besar, merubah cara berpikirnya agar mau mengelola usaha kecil dari nol, lalu mengembangkan perlahan-lahan, sehingga menjadi besar. Sulitnya lapangan pekerjaan adalah tantangan yang tepat untuk mengkreasikan diri, itu jika mereka tertantang sebagai muslim sejati. Bahkan, mereka dituntut keadaan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru di dunia wiraswasta.

Inilah perlunya penanaman jiwa wiraswasta yakni membentuk mental untuk berusaha sendiri dengan memanfaatkan peluang sekecil apapun, dengan modal apa adanya, mengerahkan segenap potensi; pikiran, perasaan, tenaga, dan hati nurani, dalam mengelola usaha, menjadikan setiap tantangan sebagai sarana meningkatkan kemampuan diri, melakukan pencatatan dan evaluasi secara berkala, berupaya mengembangkan usaha, dan bertawakkal pada Allah. Inilah hakikat wiraswasta muslim sejati.

Orang-orang Muslim di berbagai perusahaan, menjadikan pekerjaan di sana sebagai langkah awal untuk belajar segala sesuatu dalam mengelola suatu perusahaan, sehingga di kemudian hari, mereka mengkreasikan diri untuk mendirikan perusahaan kecil, mengelola secara profesional, menerapkan prinsip-prinsip usaha yang benar, dan memasarkan produk dengan cara-cara baru yang markettible, sehingga bisa dikembangkan menjadi perusahan menengah, syukur-syukur berkembang menjadi perusahaan kelas atas.

Para buruh atau pekerja di suatu tempat usaha orang lain, berusaha hidup hemat untuk mengumpulkan modal usaha sedikit demi sedikit, ketika dianggap cukup memberanikan diri untuk mengelola usaha sendiri yang dikelola dengan lebih baik karena telah mengetahui kelebihan, kelemahan, pelayanan, dan cara mengelola usaha dari pekerjaan sebelumnya.

Umat Islam yang menjadi pedagang kecil, kaki lima dan eceran, berupaya sekuat tenaga agar mampu bertahan dalam keadaan yang semakin sulit ini, hidup sederhana agar bisa memiliki simpanan uang untuk digunakan pada waktu yang tepat, bekerja keras dengan gigih walau daya beli masyarakat menurun, jangan pernah memarahi pembeli untuk alasan apapun, meningkatkan mutu pelayanan yang terbaik, menawarkan harga yang kompetitif, rajin bersedekah pada para pengemis, pengamen dan anak jalanan agar harta menjadi penuh barokah, dan bertawakkal pada Allah dengan cara rajin shalat lima waktu, berdzikir dari mulut dan hati, mengaji Al-Qur’an (jika bisa mengkajinya) shalat Tahajjud dan shalat Dhuha, insya Allah usaha yang dikelola akan meningkat dan bertambah besar. Saya pribadi telah membuktikan tesis ini sendiri.

Inilah makna dari kesadaran personal di bidang ekonomi, umat Islam harus berupaya mengelola usaha sesuai nilai-nilai Islam yang sebenarnya tidak kaku, praktis, mudah, dan malah bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh justru menjadi salah satu sarana untuk sukses. Penerapan nilai-nilai Islam di bidang ekonomi dimulai dari hal yang mudah dan sederhana; menyediakan uang receh untuk pengemis atau pengamen, memberikan kepuasan pada pembeli dengan pelayanan yang baik, membaca buku, membersihkan dagangan, memperbaiki etalase toko, memikirkan langkah ke depan, memperhitungkan pengeluatan dan pemasukan dengan mencatat seluruh barang minimal sebulan sekali, atau berdzikir pada Allah sambil menunggu pembeli, bersyukur apapun yang diperoleh baik besar maupun kecil, dan bertawakkal dalam makna yang benar. Konsekwensinya, mereka akan mampu melakukan ibadah spritual dengan benar, mampu beribadah di bidang ekonomi yang benar, sehingga keberhasilan usaha tinggal menunggu momentum yang tepat.

Dalam upaya menerapkan nilai-nilai Islam di bidang ekonomi, saya telah membuat buku dengan judul Kiat-Kiat Sukses Menjadi Pedagang yang Agamis, Dari Pedagang Kecil Menjadi Pengusaha Elit, yang bisa dimanfaatkan umat Islam.

 

Memperbaiki Kehidupan Sosial Umat Islam.

Kehidupan sosial umat Islam dimana-mana cendrung mengarah pada penjauhan dari nilai-nilai Islam. Memang di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Bandung Semarang, dan Yogyakarta ada fenomena penguatan simbol-simbol Islam seperti semakin banyaknya orang yang memakai jilbab, masjid penuh jamaah dari berbagai kalangan, pengajian atau majlis taklim semakin subur, jamaah dzikir penuh sesak, namun ini baru kelihatan dari simbol-simbol, sementara penyebaran nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, masih jauh harapan dari kenyataan. Iindikasi-indikasi ini tampak di kota-kota yang mana umat Islam “maju selangkah” di banding yang lain. Bagimana dengan kota-kota lain di luar yang disebutkan di atas?

Bisa ditebak, jika di kota-kota utama hanya tampak dari permukaan atau simbol (meskipun ini sudah lumayan baik dari tidak sama sekali), maka di kota-kota lain terjadi erosi nilai-nilai agama, krisis ekonomi yang memburuk membuat banyak masyarakat yang mudah putus asa, terjebak kriminalitas, dan menghalalkan segala cara agar bisa menghidupi diri, generasi muda terjebak dalam seks bebas, narkoba, dan kehilangan identitas diri, ibadah shalat cukup pada hari Jum’at, malah banyak yang meninggalkan sama sekali. Fenomena ini juga terjadi di berbagai daerah, sebab “Tokoh-Tokoh Islam” ramai-ramai tergiur untuk terjun di bidang politik dan sibuk mencari materi dari mengurus umatnya, efeknya masyarakat berjalan dengan nilai-nilainya sendiri tanpa arah dan tujuan.

Melihat realitas ini, umat Islam perlu menanamkan kesadaran personal di bidang sosial ini. Mereka secara sendiri-sendiri dituntut mampu belajar dari segala hal di sekitar seperti makna di balik tsunami Aceh, banjir bandang yang terjadi diberbagai daerah, banjir tiap musim hujan, musibah Merapi di Yogyakarta atau Jawa Tengah, krisis ekonomi tanpa kunjung akhir, musibah flu burung, kekeringan, busung lapar dan kesulitan-kesulitan lainnya. Saya memiliki kesimpulan sederhana bahwa semua musibah tersebut adalah ujian bagi umat Islam agar mereka kembali kepada agama mereka yakni Islam.

Umat Islam mulai tahun 1998 sampai sekarang diberi ujian yang bermacam-macam, banyak, kompleks, dan datang silih berganti agar umat Islam secara mental punya kesiapan menghadapi segala kondisi, kesipan mental ditumbuhkan dengan kesadaran pada pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari secara sukarela bukan paksaan. Ketika umat Islam menunaikan shalat lima waktu dengan kemauan sendiri bukan sekedar kewajiban, membantu umat Islam lain yang dalam kesusahan, rajin bersedekah sesuai kemampuan diri, dan berusaha shalat Dhuha dan Tahajjud, maka makna ujian dari semua musibah telah dipahami umat Islam. Namun jika sebaliknya, mereka saya yakin akan diuji terus menerus oleh Allah, naudzubillah mindzalik.

Kesadaran personal di bidang sosial membimbing umat Islam untuk melakukan hubungan sosial yang baik dengan berbagai pihak di sekitarnya; tetangga, teman, para pesaing, sesama Muslim, orang non muslim, dan seluruh masyarakat dari berbagai lapisan, sehingga perlahan-lahan nilai-nilai Islam di bidang sosial tumbuh dengan sendirinya. Ini bisa menjadi cara yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai Islam di bidang sosial di dalam kehidupan masyarakat.

Kebangkitan simbol-simbol Islam disinergikan dengan kesadaran personal yang kuat, sehingga secara individu umat Islam menjadi bertambah kuat keislamannya, bertambah kokoh keimananannya, dan bisa menerapkan konsep ihsan dalam kehidupan sehari-hari. Ihsan dalam makna umat Islam yang berupaya melapangkan dada guna membuka pintu maaf untuk siapa saja, menanamkan kesabaran dari dalam diri sampai menjadi milik, melakukan amal sholeh, dan menjadikan setiap tingkah laku senantiasa dalam pengawasan Allah, konsekwensinya diri bisa menjauhkan dari sesuatu jahat, merusak, korupsi, tercela dan menyakiti orang lain. Semua hal yang negatif berusaha dihindari semaksimal mungkin, meskipun sebagai manusia biasa mungkin akan terjebak dalam kesalahan.

 

Membentuk Budaya Islam yang Kokoh

Kemajuan yang dicapai berbagai bangsa di dunia, mulai AS, Eropa, Jepang dan China adalah contoh kongkrit bangsa-bangsa yang berpegang teguh pada budayanya masing-masing, sehingga mereka berhasil di berbagai bidang. AS dan Eropa dengan budaya pop atau intelektualnya, Jepang dengan budaya sendiri yang khas seperti cara berpakaian, menyambut tamu, mentalitas diri yang kuat, China dengan budaya kunonya yang sangat kokoh dan dipegang teguh sampai sekarang. Bagaimana dengan umat Islam di Indonesia?

Umat Islam terlena dalam “buaian” media-media yang mengarahkan mereka untuk bertingkah laku seperti orang-orang Barat; gaya hidup trendi, konsumtif, hidup untuk kesenangan, citra diri lebih penting dari kepribadian, menjadikan kekayaan sebagai tujuan hidup, memfungsikan diri seperti robot atau mesin, dan prilaku lainnya. Karena hanya meniru-niru saja, maka wajar budaya asli Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menjadi kabur, kehilangan identitas, dan tak mampu beradaptasi dengan zaman yang semakin tak menentu ini.

Tiada jalan lain untuk keluar dari krisis budaya selain umat Islam menumbuhkan kesadaran personal di bidang budaya. Artinya mereka mulai menggali nilai-nilai Islam yang kontekstual dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia, lalu secara perlahan-lahan mulai menumbuhkan dalam kesadaran diri bahwa nilai-nilai tersebut akan dijadikan budaya alternatif bagi tatanan kehidupan umat Islam secara khusus, dan akternatif bagi tatanan kehidupan dunia yang kini dalam proses penghancuran.

Ini dimulai dari hal-hal yang sepele, misalnya orang Indonesia terkenal ramah, sikap ramah ini jangan hanya dipermukaan, tapi dilakukan secara tulus dari dalam hati nurani sehingga tidak sekedar membahagiakan turis, melainkan membahagiakan seluruh umat manusia. Tamu dalam Islam harus disambut dengan baik, maka mereka berusaha menjamu tamunya dengan kemampuan yang dimiliki. Silaturrahmi atau saling kunjung mengunjungi antara sesama umat Islam dijadikan kebiasaan, sehingga bisa saling bantu dan tolong. Memberi maaf pada orang lain, orang yang diberi maaf berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Membantu tetangga atau orang miskin di sekitar sesuai kemampuan diri, sehingga kecemburuan sosial bisa dihindari. Mental mudah menyerah dan mencari cara mudah dalam berusaha diganti dengan mental baja dan kerja keras yang dilatih terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Sikap pasrah atau “nrimo” dalam bahasa Jawa yang salah kaprah harus diubah dengan tawakkal yang benar, berusaha dulu secara maksimal baru memasrahkan hasil usaha pada Allah, ini cara pasrah yang benar.

Nilai-nilai luhur di atas, berusaha disatukan lewat kesadaran personal di bidang budaya, lalu diperkuat dengan kesadaran bersama sehingga menjadi kebiasaan masyarakat secara umum atau tradisi, itu akan membentuk menjadi sikap budaya masyarakat Indonesia yang baru. Berbekal semua itu, umat Islam Indonesia akan memiliki budaya yang digali dari nilai-nilai Islam disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia, yang insya Allah akan mampu bertahan terhadap hantaman budaya manapun. Bukankah budaya Islam pernah mampu memimpin dunia ketika Barat sedang dalam kebodohan?

 

Kesimpulan

Menumbuhkan kesadaran personal di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya dilakukan secara perlahan-lahan, diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, dilatih terus menerus, dievaluasi secara personal atau bersama, dicari nilai-niali baru yang lebih baik, dan dijadikan kebiasaan hidup. Memang tidak ada yang mudah dalam hidup, tapi itu bukan halangan untuk mencoba melakukannya, bukan rintangan untuk bisa dilaksanakan dalam kehidupan. Justru karena sulit, kita akan mendapatkan kebahagiaan tersendiri manakala mampu melaksanakannya.

Kesadaran personal di bidang politik, membuat umat Islam mampu memilih pemimpin politik yang tepat dan benar, menimbulkan stabilitas politik dan rasa aman, kesadaran personal di bidang ekonomi menjadikan umat Islam mampu meningkatkan tarf hidup, meningkatkan usaha yang dikelola, dan menjalani kehidupan dengan bahagia, kesadaran personal di bidang sosial membentuk tatanan kehidupan yang harmonis, saling menguntungkan dan membahagiakan, kesadaran personal di bidang budaya akan memperkuat sendi-sendi kehidupan umat Islam, memperkokoh sikap hidup, dan menjadikan umat Islam memiliki identitas diri yang bisa menjawab tantangan zaman.

Melaksanakan semua itu butuh proses waktu, kerja keras, kegigihan, kesabaran, mental baja, semangat, keinginan yang kuat, dan tawakkal pada Allah, sehingga apa yang dilakukan umat Islam seiring dengan ridha Allah atau iradah Allah. Dengan semua itu, maka kebangkitan Islam di Indonesia dalam makna hakiki, insya Allah tidak akan lama lagi. Amien ya robbal ‘alamien!

 

 

 

 

 

 

 

[i] Elvyn G Masassya, Cara Cerdas Memutar Uang, penyunting Eko B. Supriyanto, PT Elex Media Komputindo, 2001 hal 144.

[ii] Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos, Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution) Bag. II, Sekolah Masa depan, Bandung: Kaifa, 2001

[iii] Valentino Dinsi, SE, MM, MBA dkk, Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian, penyunting Iqbal Setyarso, riset M. Hariyanto, Ssi, MM, (Jakarta: LET’s GO Indonesia 2004), hal 99

[iv] KH. Imam Zarkasyi, Diklat Kuliah Kepondokan

Santri Kelas Akhir

 Pendahuluan

Dalam tulisan pendek ini, saya akan menulis tentang sumbangan pemikiran yang ingin diberikan pada santri kelas akhir/alumni pesantren. Hal-hal yang saya tulis merupakan hasil pemikiran, pengalaman, pemahaman dan pembacaan saya terhadap perkembangan yang ada di masyakarat, kondisi alumni pesantren dan beberapa literatur yang saya baca, sehingga diharapkan bisa dipahami sekaligus dimanfaatkan para alumni dalam rangka terjun di tengah-tengah masyarakat.

Penjelasan saya diawali dengan klasifikasi umum santri kelas akhir calon alumni pesantren Al-Amien agar diperoleh peta umum tentang tingkah laku, kelemahan dan kelebihan mereka, dilanjutkan dengan tulisan belajar dari pengalaman pribadi saya dalam menghadapi berbagai kegagalan, mengatasi tekanan, meningkatkan motivasi untuk perbaikan diri dan cara melakukan aktualisasi diri atau realisasi diri, diakhiri dengan klasifikasi Islam di Indonesia pada masa kini yang memusatkan perhatian pada perkembangan Islam di Indonesia agar para alumni bisa memahami, bersikap benar dan tidak terlalu kaget dan awam saat berhadapan dengan berbagai kelompok yang berbeda.

 

Klasifikasi Alumni Pesantren

Sebagai mantan ketua kelas VI, saya berpengalaman menghadapi teman sebaya dan mengetahui karakteristik mereka, maka dalam kesempatan ini, saya akan mengklasifikasikan kelompok-kelompok yang ada dalam anak-anak kelas VI agar bisa disikapi dengan benar dan para alumni bisa memperbaiki diri tak peduli termasuk dalam kelompok manapun. Mungkin sekarang keadaan mereka berbeda karena perubahan waktu dan zaman, tapi sifat umum dari kelompok kelompok tersebut tidak berubah seperti:

Pertama; kelompok taat. Kelompok ini adalah idaman Bapak Kiai dan guru, karena mereka mudah diarahkan dan mematuhi apa yang diperintahkan, hanya kelemahan kelompok ini kurang bergaul dan cendrung mengurus dirinya sendiri. Alumni Al-Amien yang masuk kriteria taat ini sebagian besar berhasil saat terjun di tengah-tengah masyarakat seperti Agus Wedi yang sukses studinya adalah kelompok ini atau Lalu Mas’ud yang jadi dosen di NTB. Kriteria kelompok ini; rajin shalat jamaah tanpa paksaan, rajin tahajjud dan dhuha, patuh tanpa bantahan pada perintah guru dan Kiai, ada yang pintar dan kurang pintar, dan rendah hati. Bergaul dan bantu orang lain kata kuncinya. Kelompok ini yang kasat mata berhasil, tapi hakikatnya gagal yakni Suhairi Misrawi tangan kanan Ulil Absar Abdallah (mungkin ketua baru karena digodok di AS) di Jaringan Islam Liberal yang membawa banyak kemudzaratan dari kemanfaatannya.

Kedua; kelompok nakal. Kelompok ini adalah “musuh” dari para guru karena jika diperintah menerima sambil menggerutu dan malah membantah, tidak senang belajar di kelas, meninggalkan shalat di luar pondok adalah biasa bahkan dipondok mencuri-curi untuk tidak shalat, senang membantah guru atau teman, jika shalat jamaah dalam keadaan terpaksa, tidak pernah shalat dhuha dan tahajjud sendiri, senang melakukan sesuatu yang berbeda meski berseberangan siapapun, positifnya senang bergaul, membantu orang lain dan solider pada teman. Kenakalan ada beberapa sebab; latar belakang keluarga yang rusak akibat bercerai, anak broken home, anak yang kurang disayangi kedua orang tuanya, punya penyakit kinestetik; tidak suka diam tapi senang bergerak, punya penyakit kejiwaan tapi tetap bersikap normal. Karena sebab-sebabnya berbeda-beda, sudah seharusnya dihadapi secara berbeda-beda pula. Introspeksi diri bagi para alumni yang termasuk kelompok ini kata kuncinya. Tidak semua anak nakal gagal di tengah masyarakat, malah banyak yang berhasil karena mereka berani, banyak teman, senang bergaul dan mudah menyesuaikan diri, tentu setelah mampu mengatasi “kenakalannya” dan menyalurkan pada hal-hal yang positif.

 

Kelompok ketiga; Kelompok antara taat dan nakal. Kelompok ini biasanya shalat jamaah karena terpaksa atau sukarela, bila pulang ke rumah kadang tidak shalat, kadang patuh tapi kadang membangkang, suka bersikap kritis pada teman dan guru, kadang bergaul dan tidak, bergaul meski kalah gaul dengan kelompok nakal. Kelompok ini adalah kelompok persimpangan, hidupnya dipenuhi berbagai kebimbangan, dan selalu antara dua dunia berbeda. Orang dengan tipe ini yang berhasil adalah Soekarno dan Umar Kayyam, yang gagal seperti saya ini, untuk alumni pesantren yang sukses mungkin Jamal D. Rahman. Orang dengan tipe ini kadang angin-anginan, tapi bila menemukan sesuatu yang disenangi, dia akan mengerjakannya sepenuh hati. Jika alumni merasa masuk tipe kelompok ini harus berhati-hati, berusaha membangkitkan motivasi dengan melihat orang yang berhasil, dan berkayalah menurut bidang yang disenangi tanpa paksaan. Inisiatif diri kata kuncinya.

 

Belajar dari Pengalaman Orang Biasa

Sebagai alumni pesantren Al-Amien yang telah merasakan pahit getirnya menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat, kurang lebih 10 tahun setelah lulus dari PTA 1996, saya merasakan dinamika berhubungan dengan masyarakat. Memang dilihat beberapa aspek, saya bukan termasuk orang yang sukses malah mungkin dianggap gagal, sebab tidak mampu menjadi tokoh masyarakat dan hasil karya tulis tidak ada yang diterbitkan, tapi dilihat dalam konteks aktualisasi diri sebagai tujuan hidup menurut psikologi kontemporer mungkin saya dianggap berhasil, sebab di tengah kegagalan kuliah, saya tetap rajin membaca buku (setiap tahun menyisihkan uang antara Rp. 150.000,- dan 250.000 ribu untuk membeli buku), menghasilkan dua ontologi puisi, satu kumpulan cerpen, dua novel, dan empat skenario film/FTV/ sinetron, serta satu kumpulan tulisan hasil pembacaan kreatif terhadap buku-buku yang pernah dibaca. Terserah penilaian anda, paling penting dalam hidup saya menghasilkan karya tulis, tidak peduli diterbitkan atau tidak, menghasilkan materi atau tidak.

Melihat ketidakjelasan apakah saya berhasil atau gagal, kesimpulan yang paling utama adalah saya orang biasa. Ini perlu ditekankan, karena dari ratusan alumni Al-Amien yang wisuda tiap tahun (berarti sekarang ratusan ribu alumni telah lahir), hanya sebagian kecil yang sukses dan dianggap sebagai tokoh penting, sebagian besar di antaranya sama dengan saya yakni menjadi orang biasa-biasa saja atau dalam istilah Bapak Kiai menjadi orang awam. Dalam beberapa kesempatan Bapak Kiai berpesan bahwa “Haram muridku menjadi orang awam?” Menurut saya, haram yang dimaksud Bapak Kiai di sini dalam konteks kita hidup untuk diri kita sendiri, istri atau anak saja, dan kita tidak melakukan apapun agar bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks saya, agar tidak menjadi “orang awam yang awam” saya pernah mengajar di beberapa pesantren meski kemudian berhenti, terakhir mengajar anak Madrasah seminggu dua kali dan ini yang lebih penting saya menulis. Hasil karya tulis saya, saya berikan secara cuma-cuma pada guru, teman, orang yang membutuhkan dan siapapun yang minta akan saya berikan asal bermanfaat. Jadi saya tetap orang awam, namun saya tetap mampu mengaktualisasikan diri dalam keterbatasan yang dimiliki.

Kembali pada pembahasan sebagai orang biasa, masing-masing dari kita bercita-cita tinggi; ingin jadi presiden, tokoh masyarakat, Kiai, Ulama, pejabat, ilmuan, sastrawan, penulis, pengusaha dan cita-cita mulia lainnya, namun terkadang beberapa kenyataan yang dihadapi mengharuskan kita memiliki sikap yang berbeda. Sebagai contoh; biarkan saya yang jadi kelinci percobaan, sebab garis hidup saya memang menjadi kelinci percobaan, para alumni bisa mengambil manfaat dari pengalaman ini. Keuntungan belajar dari pengalaman orang biasa adalah antara kita tidak ada jarak, yang membedakan hanyalah saya lebih dahulu lulus dari para alumni, ini penting agar lebih mudah memahami dan menerapkan daripada belajar dari pengalaman tokoh besar yang sulit kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya alumni Al-Amien dengan segudang prestasi yang sulit ditandingi siapapun ketika mondok; selama mondok selalu berada di rengking 5 besar bahkan pernah sekali rengking satu, membaca buku mulai kelas I, kelas III dan IV saya merajai lomba karya tulis di Al-Amien dengan menjadi juara I lomba menulis cerpen dan karya ilmiah, kelas IV dan VI aktif baca filsafat sehingga salah jalan meremehkan shalat dan ketika jadi guru dua tahun tidak pernah sekalipun shalat jamaah (baru sadar 1999 setelah bermimpi disiksa dalam kubur tanpa pertanyaan, menjadi sadar kembali), mempelopori penerbitan SUASA (Suara Sastra Al-Amien) hampir sebagian besar isi SUASA adalah karya tulis saya, yang rutin menulis kolom setiap minggu dan mempelopori penerbitan majalah Al-Hikam PTA, ketika menjadi guru di Al-Amien; karya tulis saya dimuat di Harian Surya, penjadi peserta penulis karya ilmiah ICMI, dan juara I lomba baca tulis cerpen se Madura, pernah menjabat sebagai bagian pengajaran, ketua fasilitator dan ketua kelas VI. Dengan segudang prestasi dan piagam, garis nasib menaqdirkan saya pada sejumlah kegagalan; gagal kuliah di Undip Semarang, padahal sudah ada jaminan beasiswa ICMI, tidak bisa kuliah di tempat lain, sebab orang tua usahanya jatuh bangkrut dan saya menerima takdir untuk tidak kuliah, sedang ICMI tidak memberi jaminan jika kuliah di tempat lain. Mulai tahun 1999 aktif membaca dan menulis, sehingga menghasilkan banyak karya tulis, tapi tidak ada satupun yang diterbitkan atau berhasil.

Masa depan yang cerah berganti menjadi suram, pertanyaannya, apakah saya harus berhenti menulis dengan segala kegagalan dan keterbatasan saya? Jawabannya Tidak, saya tetap menulis meski harus berkorban dengan membeli komputer 5 juta, membeli buku sampai 1 juta, dan usaha lain yang banyak mengorbankan materi, tenaga, dan air mata. Apa yang dapat dipetik dari cerita kelinci percobaan ini;

Pertama; ketika mondok di Al-Amien kita harus mempersiapkan skill khusus agar bisa hidup di tengah-tengah masyarakat, kita tidak sekedar belajar banyak ilmu tapi sedikit, melainkan sedikit ilmu melainkan banyak. Misalnya; lebih baik kita ahli dalam bahasa Arab dari pada tahu bahasa Ingris sedikit, bahasa Arab sedikit, ilmu tafsir sedikit atau ilmu hadis sedikit, ilmu kalam sedikit dan lain-lain. Salah satu kegagalan saya adalah tahu banyak hal tapi sedikit. Bagaimana jika terlanjur? Jika ada pilihan mengajar di Al-Amien atau di luar, pilih mengajar di Al-Amien, lantas kita perdalam ilmu yang akan kita jadikan skill dalam hidup (banyak guru yang sangat berkualitas di Al-Amien, namun kurang dimanfaatkan para alumni/guru yunior), syukur syukur bisa menyelesaikan S1, ingat lho! Gaji guru PNS naik tiga kali lipat tahun 2008. Jika terlanjur mengajar di luar, cari pesantren yang bisa tetap kuliah, jika tak ada, kita terima pilihan yang ada dengan tetap berkomitmen untuk senantiasa belajar, memperdalam ilmu yang akan dijadikan skill. Tapi jika kita dikader mengasuh pesantren sebaiknya mottonya dirubah tahu banyak hal walau sedikit, sebab jika kita jadi Kiai suatu saat, kita dituntut untuk tahu banyak hal, dengan tahu banyak hal kita bisa bersikap bijaksana, dan mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat.

Kedua; dengan filsafat saya salah jalan sehingga meremehkan ibadah shalat, maka saya harap para alumni tidak melakukan kesalahan yang sama, artinya sebaiknya tidak belajar filsafat sebelum keislaman dan keimanan kita benar-benar kuat. Kelalaian kita terhadap shalat atau ibadah spritual membawa konsekwensi yang banyak dalam hidup saya, sehingga mengalami kegagalan demi kegagalan. Apalagi sikap saya yang sombong dan angkuh membuat saya pernah menentang kebijakan Bapak Kiai dan guru lainnya, jika melakukan hal ini segeralah minta maaf, sehingga kita keluar pondok dengan hati lapang. Para alumni yang berhasil seperti Agus Wedi teman seperiode yang sedang menyelesaikan program Doktor di IKIP Malang adalah orang yang rajin shalat tidak hanya lima waktu, tapi juga tahajjud dan Dhuha, padahal dia dari keluarga miskin seperti saya.

Ketiga; meski punya banyak prestasi dan pintar, itu belum cukup tanpa diimbangi dengan kerja keras dan mental baja. Kelemahan saya adalah mudah menyerah pada kenyataan yang ada, gagal kuliah di Undip, saya menyerah untuk kuliah, padahal saya bisa kuliah di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta dengan cara bekerja sambil belajar, tapi saya tidak menempuh alternatif ini; ada mahasiswa di Yogyakarta yang bekerja mengayuh becak agar bisa tetap kuliah di UGM, alumni Al-Amien bisa menempuh hal ini. Saya juga bukan seorang pekerja keras, malah cendrung pemalas, sehingga seharusnya banyak hal yang dilakukan menjadi sedikit hal yang dilakukan.

Keempat; lulus Al-Amien sama dengan anak SMU atau MA lulus sekolah, jadi hakikatnya kemampuan kita terbatas, atau meminjam istilah pondok, apa yang kita pelajari baru dasar atau kita baru memegang kunci sedang banyak lemari yang akan dibuka, maka melanjutkan kuliah adalah pilihan utama yang harus dilakukan, dengan S1 kita bisa paling tidak menjadi guru kontrak, mengikuti ujian PNS dan mengajar di pesantren dengan gaji standar jika materi tujuannya, jika tujuan ilmu, kita bisa memperdalam ilmu yang kita inginkan dan memanfaatkannya di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat semakin kompleks, kita harus memiliki pengetahuan yang cukup agar bisa beradaptasi.

Kelima; jika tidak kuliah, bukan berarti hidup kita berakhir, kita bisa tetap belajar dengan cara yang berbeda; belajar bukan hanya dari buku melainkan kita bisa belajar dari masyarakat; bagaimana berinteraksi yang baik, membina hubungan dengan orang lain, memahami budaya setempat dan bertindak secara bijaksana, belajar cara orang miskin bertahan hidup dengan keterbatasan, dan belajar hal lainnya. Jika kita terpaksa bekerja, cintailah pekerjaan kita, kembangkan sampai taraf maksimal dengan tetap rajin bersedekah, dan gunakan hasil kerja untuk hal-hal yang bermanfaat. Saya bekerja menjadi pedagang kecil dengan modal awal Rp. 800.000, ribu yang diterima dari orang tua sebagai modal tahun 1998, tahun pertama berdagang pindah-pindah tempat karena tidak punya kios sendiri, tahun ketiga bisa membeli kios sendiri seharga 10 juta, sampai sekarang mampu membiayai kegiatan otodidak saya atau belajar sendiri dan bisa membeli komputer agar tetap menulis. Di samping itu Kiai kita, KH. Moh. Idris Djauhari juga dipaksa keadaan untuk tidak kuliah, bukan tidak mau kuliah, tapi beliau mampu mengembangkan Al-Amien sampai sebesar sekarang dan pengetahuan beliau luar biasa, sebab disamping belajar otodidak, intuisi (pengetahuan yang diperoleh tanpa belajar atau diterima secara langsung dari Allah) beliau sangat hidup sehingga nasihat-nasihatnya sangat mempuni, pidatonya luar biasa dan mampu mengembangkan Al-Amien seperti sekarang. Jika keadaan memaksa kita menjadi petani, nelayan, pemulung, penarik becak, kernek, sopir angkutan, terimalah dengan penuh ketekunan dan kesabaran, jangan gengsi (gengsi penyakit alumni Al-Amien yang harus dimusnahkan, karena sangat berefek negatif) dengan kerja keras semua akan berubah lebih baik. Ingat meski jadi orang awam, tapi kita bukan orang awam biasa.

Keenam; Latar belakang keluarga menentukan kesuksesan seseorang meski bukan yang paling menentukan. Para santri yang berasal dari keluarga yang kaya, mampu dan berkecukupan bisa lebih mudah untuk bisa mengembangkan diri dibanding yang berasal dari keluarga miskin, namun modal ini tidak akan ada artinya seandainya santri yang bersangkutan tidak memiliki semangat belajar yang bagus, motivasi yang kuat dan kemauan untuk meningkatkan kemampuan diri. Justru terkadang anak yang dari keluarga miskin lebih berhasil karena terbiasa bekerja keras membantu orang tua, biasa hidup dalam kekurangan dan punya kemauan untuk bekerja sambil kuliah. Jadi yang paling menentukan tetap diri sendiri bukan keluarga, meskipun keluarga juga punya peran yang penting. Seperti dalam kasus saya, keluarga jatuh bangkrut ketika hendak kuliah, saat bersamaan saya tidak memiliki kemauan untuk bekerja keras, jadilah saya gagal kuliah.

Ketujuh; Hidup di tengah-tengah masyakarat lebih berat dari hidup di pondok, sebab hidup dengan orang lain dengan berbagai sifat tamak, iri, dengki, cemburu dan sifat buruk lainnya senantiasa bertarung sepanjang waktu. Kita meski ingin berbuat baik kadang ditanggapi keliru oleh masyarakat, sehingga kita harus pintar-pintar menahan diri. Maka belajar sabar, rendah hati, saling menghormati, dan akhlak yang baik lainnya harus diintegrasikan dalam diri agar kita bisa bertindak benar dalam waktu yang benar dan kondisi yang benar pula. Bila menghadapi kecaman, hujatan atau makian kita harus intropeksi diri, apa yang salah dengan sikap kita, jika tak ada yang salah berarti kita harus bersabar dan tetap menyempurnakan diri meski kesempurnaan tak akan pernah dicapai.

Kedelapan; Masalah lain yang akan dihadapi para alumni adalah bagi laki-laki masalah perempuan, bagi perempuan masalah laki-laki, sebagai contoh ada alumni Al-Amien yang meninggalkan pesantren yang dibinanya karena seorang perempuan, amat sangat terlalu luar biasa bukan? Kita terbiasa hidup dengan lelaki dan putri terbiasa hidup dengan sesama perempuan, sehingga saat lulus pesantren seperti kuda yang lama hidup di kandang, sehingga manakala bebas ingin melampiaskan pada apa yang ada didepannya, jadi jika ada alumni Al-Amien yang menyalurkan sembarangan seperti kuda tadi hakikatnya, seandainya ini yang terjadi untuk apa capek-capek mondok selama enam tahun; padahal kita mengorbankan tenaga, pikiran, orang tua bersusah payah mencari uang membiayai kita, dan lebih banyak menderita dari senang di pondok. Agar tidak menjadi kuda, kita harus belajar pelan-pelan bagaimana bergaul dengan lawan jenis dengan mengingat rambu utama Jangan berzina! Berzina tidak akan diampuni dosanya selama 40 tahun, belum lagi efek yang ditimbulkan; kita kawin sebelum waktunya, penyakit Aids, spilis dan Harimau, bahkan ada keyakinan di masyarakat (saya melihat sendiri) orang yang berhubungan seks sebelum menikah rizkinya jadi terhambat, sehingga hidupnya susah memperoleh rizki, bagi mahasiswa kesulitan memperoleh ilmu. Di kos-kosan mahasiswa Ciputat Jakarta, mahasiswi berkerudung keluar masuk tempat kos laki-laki, demikian sebaliknya, jika iman tidak kuat kita akan hancur. Bagi perempuan, jangan mudah melepas kerudung dengan alasan apapun, bagi laki-laki perempuan berkerudung lebih anggun dan memikat, doktrin Islam Liberal bahwa kerudung tidak wajib adalah kesalahan dan kebohongan belaka, jika kita mengikutinya sama saja dengan kita mengikuti ajaran yang salah. Marilah kita jadikan kerudung sebagai pelindung dan sekaligus gaya hidup kita, sebab orang melepas kerudung karena alasan gaya. Bagi perempuan yang harus diperhatikan juga, seks sebelum menikah adalah prahara dalam kehidupan perkawinan pada masa mendatang, maka hindarilah. Bagi laki-laki jangan mudah mempermainkan hati perempuan karena ada balasannya di dunia dan akhirat. Masalah ini perlu dibahas karena menjadi salah satu masalah yang sangat rawan, apalagi usia para alumni dimungkinkan untuk mengenal hal ini, dari pada mereka mengenal dari sumber yang salah, lebih baik dijelaskan terlebih dahulu, apalagi terdapat beberapa fakta meyakinkan bahwa para alumni kita gagal menangani hal ini sehingga gagal di masyarakat. Percayalah jika sudah tiba waktunya kita akan memperoleh jodoh masing-masing yang terbaik untuk dunia dan akhirat kita!

Kesembilan; faktor peluang/kesempatan dan keberuntungan juga memegang peranan tak kalah penting. Berapa banyak orang hebat di dunia yang sangat ahli di bidangnya, tapi tetap gagal meraih kesuksesan karena tidak memiliki kesempatan atau peluang untuk menunjukkan kemampuannya, maka para alumni yang mendapatkan peluang bagus langsung mengambil peluang tersebut dan mengerjakan dengan sungguh-sungguh, sebab peluang tidak datang dua kali dalam hidup. Jangan ragu mengambil peluang karena alasan tidak mampu, kurang ahli atau merasa rendah diri, sebab semua itu bisa dilakukan dengan belajar terus menerus sambil memanfaatkan peluang yang ada. Keberuntungan juga menentukan meski bukan segalanya, keberuntungan diperoleh dengan cara mendekatkan diri pada Allah lewat berbagai cara; ibadah spritual, membantu orang lain, rajin bersedekah dan tawakkal. Bila keberuntungan tidak datang dalam hidup kita, bukan berarti kita harus berhenti meneruskan cita-cita mulia, melainkan berusaha bekerja lebih keras lagi, sebab siapa tahu keberuntungan datang setelah kita meninggal. Sebagai ilustrasi; semasa hidup Khairil Anwar puisi-puisinya kurang dihargai malah dianggap plagiator, tapi sekarang siapa yang tidak kenal Khairil Anwar? Bahkan disebut pelopor puisi angkatan 45, Frans Kafka yang menghasilkan tiga kumpulan cerpen dan tiga novel, semasa hidup tulisannya tidak ada yang diterbitkan, setelah meninggal, lewat jasa teman sejatinya karya tulisnya diterbitkan, hasilnya Frans Kafka disebut sebagai pelopor sastra postmodern. Ini menunjukkan bahwa keberuntungan seseorang tertunda setelah kematiannya, saya meyakini hal ini, maka tetap terus berkarya meski kegagalan demi kegagalan selalu menyertai langkah saya.

 

Islam di Indonesia Masa Kini

Para alumni harus mengetahui perkembangan Islam di Indonesia agar bisa bersikap yang benar. Perkembangan Islam di Indonesia berlangsung sangat cepat, satu aspek bergerak maju, ditinjau aspek yang berbeda bergerak mundur atau lebih tepatnya stagnan. Berikut akan saya gambaran kenyataaan yang ada di masyarakat dan bagaimana para alumni harus menyikapinya, serta memahami apa yang akan dihadapi. Munurut saya Islam di Indonesia diklasifikasikan pada beberapa kelompok:

Pertama; kelompok Islam politik, yakni umat Islam yang menerjunkan diri ke arena politik sebagai medan juangnnya. Kelompok ini terbagi dalam kelompok yang menjadikan Islam sebagai alat politik seperti yang dilakukan orang-orang yang memperkaya diri dengan memanfaatkan Islam lewat jalur politik, dan kelompok yang memperjuangkan Islam lewat politik; ini sangat jarang, yang kelihatan di Jakarta adalah kelompok PKS dengan pembinaan kadernya yang memang diniatkan untuk Islam, sebagian kecil orang PAN, PKB dan PPP. Para santri yang akan terjun di arena ini tetap berkomitmen untuk menjadikan politik sebagai sarana perjuangan Islam.

 

Kedua; Islam strutural, yakni umat Islam yang terjun dalam orgnisasi masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan organisasi Islam lainnya. Kelemahan kelompok ini terlalu membela kepentingan kelompoknya dari kepentingan Islam, meski sekarang sudah ada pendekatan antara NU dan Muhammadiyah misalnya agar lebih mengedepankan Islam daripada kelompoknya. Ketika terjun dalam masyarakat, kita harus tahu peta organisasi ini agar bisa menyesuaikan diri, jangan terlalu memakasakan diri dengan misi kita yang ingin mengedepankan Islam, jika harus mengikuti salah satu kelompok, bergabunglah tanpa terlibat dalam fanatik buta.

Ketiga; Islam budaya yang terbagi dalam Islam Radikal, Islam Liberal dan Islam ala Al-Amien dan Gontor.

Islam radikal adalah umat Islam yang berusaha memperjuangkan Islam dengan segala cara, baik lewat kekerasan fisik, pemikiran dan sikap hidup. Sebagian pengikut Islam radikal terjebak dalam kelompok terorisme yang melakukan tindakan destruktif untuk mencapai tujuan. Ikut kelompok ini tidak baik bagi kehidupan kita dan orang lain, sebab mereka menerapkan konteks jihad dalam pengertian perang, padahal makna jihad berarti berjuang tanpa pamrih, kerja keras, dan bila diserang baru balas menyerang.

Islam Liberal; umat Islam yang menginginkan Islam di Indonesia meniru Barat yakni bersikap liberal dalam segala aspek kehiudpan; politik, ekonomi, budaya dan sosial, padahal liberalisme Barat ditolak oleh masyarakat AS tahuan 70-an lewat gearakan Kiri Baru dan sebagian besar pemikir postmodern dan psotrukturalis menolak pemikiran mereka, mereka memperjuangkan nilai-nilai Barat dalam Islam konsekwensinya mereka mendapatkan dana berlimpah dari Barat; Eropa dan AS. Liberalisme dalam berbagai aspek kehidupan adalah kemustahilan sebab tidak mungkin manusia bebas sebebasnya selama hidup dengan orang lain atau masyarakat. Banyak kelemahan-kelemahan pemikiran mereka yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu karena keterbatasan makalah ini, intinya Islam Liberal adalah sampah yang harus dibuang ke tong sampah. Para alumni jangan terlalu kaget bila menghadapi mereka di luar.

Kelompok ketiga adalah impian kita, saya menyebutnya Islam ala Gontor dan Al-Amien, sebab Islam mereka berdiri di atas semua golongan, Islam mereka adalah hakikat Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, tentu para alumni telah memahami Islam yang saya maksudkan ini. Jangan ragu untuk memperjuangkan Islam ala Al-Amien dan Gontor, sebab dalam prediksi saya, kemajuan Islam di Indoensia akan dibawa oleh Islam kelompok ketiga ini asal para alumninya tidak terjebak dalam Islam Liberal dan Radikal. Hanya waktu yang akan membenarkan tesis ini.

Saya pernah mencoba bersikap liberal dalam hidup saya, tapi yang saya temukan kebingungan, kegelisahan, depresi dan frustasi, justru saya mendapatkan ketenangan setelah kembali pada Islam yang diajarkan di pondok. Bahkan mungkin sikap liberal saya telah dimulai di pondok saat kelas IV dan jadi guru, kalian tahu sendiri bagaimana kehidupan saya selanjutnya. Islam radikal juga kurang baik karena memperjuangkan Islam dengan kekerasan, padahal Islam itu lemah lembut seperti cara Nabi mengajarkan Islam. Maka yang terbaik adalah Islam seperti ala Al-Amien dan Gontor; Islam yang rahmatan lil ‘alamien, tidak mencampur adukkan ajaran Islam dengan nilai-nilai Barat, amar ma’ruf nahi munkar, derajat antar manusia sama kecuali yang paling bertakwa, tidak ada sistem pastoral seperti Kristen (Ulama bukan seperti pastor) dan membawa kebahagian, kedamaian, ketenraman dan kemulyaan di dunia dan akhirat.

 

Penutup

Apa yang saya sampaikan ini adalah hasil perenungan, pembacaan dan pemahaman saya terhadap berbagai aspek kehidupan selama 10 tahun terjun di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang saya katakan di awal, para alumni beruntung membaca pengalaman dari orang biasa ini, tapi tetap mengaktualisasikan diri lewat tulisan meski tulisan-tulisannya banyak yang gagal. Belajar dari kegagalan orang lain akan menjadi hikmah jika kita melakukan introspeksi diri, bisa menjadi barokah ketika kita mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi rahmat jika para alumni tahu apa yang harus dilakukan pada masa yang akan datang, menjadi sia-sia jika tidak berpengaruh apapun pada kehidupan para alumni.

 

Sekarang sampailah pada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan para alumni dalam rangka hidup di tengah-tengah masyarakat, menyelesaikan studi atau kuliah, dan menatap masa depan yang masih remang-remang. Masa depan remang-remang akan menjadi semakin jelas kita kita membuat perencanaan yang matang, meski jalan kehidupan terkadang tidak sesuai dengan rencana.

Pertama; susunlah rencana jangka pendek, menengah dan panjang -masing-masing berisi rencana utama dan alternatif, contoh; rencana utama jangka pendek; menguasai bahasa Inggris dalam 6 bulan, rencana alternatif; menguasai bahasa Arab, menguasai bahasa Indonesia, menguasai ilmu tafsir, menguasai ilmu hadits ( artinya dalam 6 bulan kita banyak membaca buku yang ingin diperdalam), rencana utama menengah; ingin kuliah biaya orang tua, rencana alternatif; bekerja sambil kuliah, bekerja dulu dua tahun baru kuliah, bekerja sambil belajar, rencana utama jangka panjang; menjadi dosen, rencana alternatif; menjadi guru SMU/MA, menjadi guru di pesantren, menjadi tokoh masyarakat, menjadi penulis, menjadi pedagang/wiraswastawan/nelayan/petani-, dalam menyusun rencana sesuaikan dengan kemampuan diri, keadaan orang tua, lingkungan masyarakat yang akan dituju dan kenyataan yang ada, ketika saya menulis 10 rencana jangka pendek, menengah dan panjang misalnya, ternyata sebagian terlaksana, tapi ada yang tidak, kedua; Dalam menyusun rencana, buat alternatif yang banyak, sehingga ketika gagal yang satu kita bisa melakukan rencana lainnya, minimal tiga rencana alternatif jika rencana utama gagal, ketiga; susun beberapa kelemahan dan kelebihan kita sehingga mampu melaksanakan rencana yang akan dibuat, kelemahan harus diatasi dan kelebihan harus dimanfaatkan maksimal, jujurlah pada diri sendiri saat menuliskannya sebab ini demi kebaikan kita di masa yang akan datang, keempat; kita tulis apa saja yang harus dipersiapkan agar rencana kita terlaksana, persiapan terdiri dari fisik, mental, pikiran dan skill (seperti dijelaskan di atas), dan kita harus berupaya melaksanakan komitmen yang dibuat untuk masa depan kita sendiri, kelima; jika menghadapi kendala dan rintangan, hadapi dengan tenang, pikiran jernih, kesabaran dan tawakkal pada Allah (bentuk tawakkal menurut saya diwujudkan dalam do’a, shalat tahajjud, shalat dhuha dan dzikir). Selamat mempraktekkan! Semoga alumni Al-Amien lebih berhasil dari saya pada masa mendatang! Amien!

 

 

 

Tinggalkan komentar